Mereka sering menyebutku, gadis berambut merah. Begitulah apa yang sering kudengar. Rambutku berwarna cokelat sebenarnya, hanya sinar matahari yang membuatnya nampak.merah. Tidak cantik, menurutku. Meskipun begitu, teman-temanku pernah mengatakan aku memiliki rambut yang indah. Mataku cokelat.Percayalah, kehidupan percintaanku sama buruknya dengan kehidupan sosialku.
Perpisahan orang tuaku bukan hal yang baik. Aku bahkan tidak percaya akan hal tersebut, meskipun orang tuaku sudah berusaha meyakinkanku apa yang mereka lakukan, itu adalah untuk kebaikanku. Aku tidak akan percaya hal tersebut. Aku gadis pemurung. Kurang bersosial, jarang tersenyum. Irit bicara. Di sekolah aku bukanlah gadis yang terkenal. Jauh dari kata periang.
Ibuku selalu meyakinkanku untuk tetap menjadi gadis remaja lainnya. Bersekolah dan melakukan hal normal. Boleh aku jujur? Aku benci orang tuaku harus berpisah.
Aku melirik ke depan. Ke arah Ibuku. Ia nampak fokus pada jalanan. Aku menghela napas. Di sini lah aku. Meringkuk di kursi penumpang dengan sebuah jaket dan buku terbuka di pangkuan. Aku tidak benar-benar membaca. Pikiranku berkelana. Semua ini terjadi begitu mendadak. Perceraian dan perpisahan. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, Ibuku memintaku untuk ikut bersamanya. Melanjutkan kuliahku di kota kelahirannya. Aku menatap Ayahku untul meminta jawabannya saat Ibu mengatakan hal itu, tapi ia hanya tersenyum dan mengangguk. Seolah ia juga menginginkan itu. Aku tidak punya pilihan lain.
"Kamu pasti akan menyukainya. Jo sudah menghias kamarmu. Dia begitu bersemangat saat mendengar kamu akan datang."
Suara Jessica terdengar. Ia tersenyum lebar padaku. Aku menoleh padanya. Kuberikan dia senyuman seadanya.
"Itu bagus," sahutku tidak berselera.
Jalanan kota nampak lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas.Aku menatap butiran hujan yang mengenai kaca jendela mobil. Sejenak aku menghela napas. Udara terasa dingin hingga membuatku merapatkan jaket.
"Kamu senang dengan keputusan ini?"
Jessica bertanya padaku. Matanya masih berfokus pada jalanan."Ini adalah keputusan yang terbaik."
Bohong. Aku berbohong lagi. Sebenarnya pindah adalah ide paling buruk, ide yang paling kuhindari. Tidak. Itu bukan berarti aku membenci keputusannya. Kota kelahiran Ibuku tidak buruk. Aku selalu mengunjungi Nenek tiap hari libur. Bukan kota yang besar, tapi sungguh bukan itu alasanku.
Hanya saja, pindah artinya pergi ke tempat baru. Rumah baru, lingkungan baru, dan orang-orang baru. Pindah artinya aku harus kembali beradaptasi. Aku benci beradaptasi. Atau lebih tepatnya, aku benci hal-hal baru."Bagus, ini akan menjadi hal yang baik, sayang. Kau akan senang dan kuliah di sini. Nenekmu juga akan senang karena cucunya ada di dekatnya."
Aku menunduk tidak menatap Ibuku. Jemariku saling meremas. Mataku kembali pada jendela. "Ya, semoga akan menyenangkan."
Dan begitulah kehidupan baruku akan dimulai.
••••