Udara air conditioner di ruangan ini terasa menusuk tulangku hingga membuatku beberapa kali merasa menggigil. Sesekali tanganku kurapatkan hingga saling meggenggam. Suasana ruang interview ini sangat tidak nyaman bagiku. Terlebih, Aku sangat takut jika ditanyai tentang keluargaku. Hal yang kutakutkan terjadi nampaknya memang telah terjadi. Tampak raut wajah bapak itu terheran dan bingung melihatku kesulitan menjawab pertanyaannya. Kemudian Ia ulangi pertanyaan yang sama.
"Kamu tidak tahu dimana Ibu mu sekarang? Ibumu perlu menandatangani surat ini kalau kamu mau diterima beasiswa." ujarnya.
Aku hanya menunduk diam menatap ubin sembari mengingat-ingat seperti apakah rupa ibuku. Aku hanya merespon pertanyaan bapak itu dengan gelengan kepala.
"Bagaimana kamu bisa tidak tahu? Kamu kan anaknya? Kenapa kamu gak cari? Durhaka kamu!" tambah sang bapak seolah menyalahkanku.
Aku mencoba bersuara, menjawab pertanyaan itu. Berat, tak sanggup Aku melanjutkannya. Belum sepatah kata kuucapkan, air mata deras menetes membasahi wajahku. Aku memang paling tidak suka siapapun menanyakan tentang Ibuku.
"Ini hidupku, bukan hidupmu! Urus saja sendiri kehidupanmu!" dalam hatiku.
Jika ada yang bertanya seperti itu, rasanya ingin kulempar apapun yang sedang kugenggam. Namun begitu, bukan emosi yang kurasakan. Itu adalah kesedihan yang teramat dalam. Aku hanya membungkusnya dengan kemasan emosi agar Aku tak dikasihani. Aku benci dikasihani. Namun, di ruang interview ini Aku tak bisa membungkusnya dengan apapun. Aku memasrahkan kesedihanku meluap.
Aku keluar dari ruang interview dengan mata yang memerah. Segera Aku menundukkan mukaku agar tak terlihat orang lain yang sedang mengantri untuk sesi wawancara. Nampak kudengar beberapa dari mereka berbisik-bisik karena melihat diriku. Aku mempercepat langkah kakiku agar cepat keluar dari kumpulan orang-orang itu.
"Mas, kenapa mas?" tanya satpam yang menjaga pintu masuk namun tak kuhiraukan.
Buru-buru Aku menuju tempat parkir untuk mencari sepeda motorku. Begitu terlihat langsung kuhampiri dan kuhidupkan. Di jalan, kupacu sepeda motorku dengan kencang. Aku ingin pulang dan merasakan kesedihanku sendiri di kamar. Itu membuatku merasa tenang dan lebih baik. Daripada harus membicarakannya dengan seseorang tetapi tak lama kemudian semua orang mengetahuinya. Aku mungkin orang yang tertutup di mata orang lain yang jarang bercerita, dan tidak berbaur dengan orang banyak. Aku hanya ingin orang lain tak tahu masa laluku yang akan membuatku merasa dikasihani.
~ Next Part 2 >> ~
YOU ARE READING
Durhaka?
Short StoryCerpen yang berlatarkan kisah hidup yang nyata kualami sebagai anak yang tidak mengenal ibunya sendiri. Kalau banyak yang baca dan suka ceritanya, insyaallah akan saya buat cerita hidup saya yang lainnya