"Buat lo Ca," Dikta menyodorkan sebotol minuman untuk Calista, atau teman-temannya terbiasa memanggilnya Caca.
"Thank you, lo emang pengikut gue yang paling pengertian." Caca menepuk bahu Dikta sampai beberapa kali. Mendengar perkataan temannya, Dikta hanya tersenyum singkat tanpa menyahuti.
Matahari tengah terik-teriknya bersinar, Caca memilih mundur dari permainan bola basket di lapangan outdoor. Matanya dipicingkan, mencoba memperjelas penglihatannya untuk mengawasi teman-temannya yang tengah bertanding.
Bukan pertandingan penting. Minggu lalu, kelas Caca mendapatkan tantangan dari kelas Renata untuk melakukan pertandingan bola basket. Di antara dua kelas tersebut tidak ada satu pun murid perempuan yang jago dalam memainkan bola basket.
"Kalian main bola basket udah kayak ikan teri, bergerombol ke sana kemari," Dikta menggelengkan kepala. Beberapa kali cowok itu juga berdecak.
"Hm, ya. Kita menggiring bola dengan bebas, tanpa teknik dan aturan khusus. Asal nggak curang dan bola masuk ke dalam ring, itu udah cukup."
"Dasar. Ke kantin yuk, gue traktir deh!" Dikta bangkit dari duduknya, belakang celananya yang kotor akibat rumput menempel langsung dibersihkannya. Caca menganggukan kepala dan menyusul Dikta berdiri.
"Wah, lagi banyak duit lo Dik?" Caca bertanya sambil cengengesan, tangannya langsung merangkul Dikta meski dengan susah payah.
"Lo tuh pendek Ca, nggak usah sok ngerangkul gue. Sini, biar lo aja yang gue rangkul." Dikta merangkul bahu Caca, lalu dengan santai keduanya berjalan meninggalkan lapangan untuk ke kantin.
Kantin tidak terlalu ramai, kebanyakan dari murid memang tengah menyaksikan pertandingan basket di lapangan. Tidak ada yang mau melewatkan pertandingan antara dua kelas yang tidak pernah akur itu. Murid 2.2 dan 2.3 memang tidak bisa saling sapa dengan normal, selalu saja adu mulut. Bahkan, dua bulan lalu salah satu murid kelas 2.2 dan 2.3 jambak-jambakan di toilet.
Caca mengetuai para murid perempuan di kelas 2.2, sedangkan Renata mengetuai teman-temannya di kelas 2.3.
Caca dan Renata tidak pernah akur. Permusuhan bermula saat mereka masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Saat diadakan fashion show, keduanya memiliki tema pertunjukan yang sama. Dua-duanya merasa tidak terima, pikir Renata idenya telah dicuri oleh Caca. Alhasil sampai sekarang mereka tidak pernah akur. Padahal, di antara keduanya tidak ada yang dipanggil sebagai pemenang.
"Ca, lo mau pesen apa? Biar gue yang pesenin, lo duduk aja." Dikta mendorong punggung Caca sampai gadis itu terduduk di bangku pojokan kantin.
"Oh? Oke. Gue mau nasi ayam, kebab, es teh, jeruk."
"Udah Ca? Tumben dikit, ciloknya nggak?" Tanya Dikta keheranan. Pasalnya biasanya Caca akan memesan banyak makanan, seperti sostel, nasi gila, ayam geprek, muffin, cimol, soto ayam dan lain-lain. Tapi setahu Dikta, yang paling wajib Caca beli adalah Cilok.
"Boleh tuh, beliin ya. Tapi lo yang bayar," Caca meringis. Dikta menaikan satu alisnya sebelum berbalik meninggalkan Caca begitu saja.
Caca sedang sibuk mengetukan jari jemarinya pada meja saat dua anak lelaki yang duduk di meja sebelah memanggilnya. Caca menatap dua anak itu dengan alis berkerut.
"Lo kok mundur? Pertandingan bukannya belum selesai ya Ca?" Tanya cowok dengan rambut minim bernama Putra.
"Magh gue kayaknya kambuh, makanya keluar sebelum pertandingan," jawab Caca enteng.
"Bukan karena lo takut nanggung malu karena nantinya bakal kalah kan?" Tanya cowok yang duduk di sebelah putra. Danil namanya.
"Hm, gue bukan termasuk orang yang mendewakan kemenangan sih, jadi kalau gue kalah ya udah. Nggak bakal koar-koar juga gue, " Caca mengangkat bahunya. Ia mengabaikan kekehan dari dua cowok tersebut. Caca tidak berniat memukuli dua kakak kelasnya itu.
