"12 IPA 1 adalah ruang terlarang untukmu. Jangan coba dekat-dekat dengan Reiki di sekolah, bahkan untuk menginjakkan kakimu di lantai dua saja saya tidak mengizinkan. Ada banyak mata-mata yang saya kirim untuk mengawasimu. Jika saya mendapat laporan kamu berani mendekati ruang kelas Reiki apalagi sampai identitasmu terbongkar, kamu tahu 'kan apa yang akan terjadi?"
Galen menghela napas. Tangan kanannya bergerak memegangi lehernya yang waktu itu menjadi sasaran ketika Reihan memperingatinya.
Sebenarnya Galen sudah terbiasa, Reihan tidak pernah datang ke kamarnya hanya untuk berbicara. Selalu ada bagian tubuh Galen yang harus memar sebelum pria itu keluar.
Contohnya kejadian dua hari sebelum masuk sekolah. Tiba-tiba saja Reihan datang di saat Galen sedang tertidur lelap. Ia datang tak hanya untuk memperingati Galen, tangan pria itu justru bekerja terlebih dahulu. Ia mencekik Galen hingga membangunkan anak itu.
Sejujurnya Galen benar-benar sudah terbiasa, ia sangat terbiasa. Hanya saja, ia sedikit trauma. Bertatap muka dengan ayahnya adalah suatu petaka.
Sekali lagi Galen menghela napas, ia mencoba untuk mengusir rasa gelisah yang menggelayuti hatinya sejak tadi. Galen kemudian menatap sekeliling mencari sosok Caramel ditengah keramaian. Saat ini Galen bersandar tepat di bawah tangga, bel pulang sudah berdering sejak lima menit yang lalu.
Galen merunduk, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, sedangkan kaki kanannya memainkan kerikil kecil yang tak sengaja ia temukan.
Sampai beberapa menit kemudian, sepasang kaki tepat berhenti di hadapannya. Perlahan Galen mengangkat pandangan, ditemukannya Caramel dengan wajah datar di sana. Galen tersenyum, namun yang ia dapati hanya pelototan dari gadis itu.
Caramel melempar jaket Galen tepat di depan dada cowok itu, lalu tanpa sepatah katapun ia berbalik dan meninggalkan Galen.
Sejenak Galen menatap jaket hitam miliknya. Ia kembali tersenyum lantas berlari mengejar Caramel.
"Beneran nggak mau bilang makasih?" ujar Galen saat ia sudah berhasil melangkah di sebelah gadis itu.
Caramel tak acuh, ia justru semakin mempercepat langkahnya. Berurusan dengan Galen hanya akan membuat darahnya mendidih.
Namun, bagi Galen, bersama Caramel ia selalu berhasil tersenyum tanpa beban. Gadis itu selalu berhasil membuat Galen melupakan masalahnya. Katakanlah hati Galen terlalu kosong hingga Caramel dengan mudah mengisinya.
Galen melangkah mengikuti Caramel dari belakang, cowok itu memerhatikan Caramel yang berjalan begitu cepat, berusaha menghindarinya.
"Lo bisa jalan pelan-pelan, gue nggak bakal ngikutin lo kok. Kalo lo jalannya buru-buru kayak gini, lo bisa ja--" Galen dengan sigap menahan lengan Caramel ketika gadis itu hendak tersungkur karena tidak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri. "--tuh," lanjut Galen menuntaskan kalimatnya.
Hening.
Caramel terperangkap lagi.
Kali ini dengan bola mata indah itu.
Ia tertegun.
Bahkan Caramel tak melakukan perlawanan saat Galen tiba-tiba merampas ponselnya dari genggaman gadis itu. Mengetik sesuatu sebentar lalu mengembalikan benda itu kembali kepada pemiliknya.
"Udah tiga kali. Kalo lo mau bilang makasih, tinggal hubungi nomor itu," ujarnya sebelum berbalik meninggalkan Caramel.
Caramel bergeming. Ia mematung di tengah koridor.
Tak sampai lima detik, Galen kembali berbalik menghampiri Caramel. "Noona," panggilnya dengan senyum jenaka, "kayaknya kali ini pipi lo bakalan beneran berdarah." Galen mengedipkan sebelah matanya sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Caramel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Pain
Teen FictionAdakah maaf untuk sebuah kesalahan? Adakah pintu untuk mengetuk hati yang beku? Adakah tempat untuk membuang penyesalan? Adakah jalan untuk yang terlupakan agar teringat lagi? Jika tidak ada, maka akhir hidup adalah sebuah jawaban. Luka menahun mene...