s a i n t i s1.
Malam kelam menyelimuti Seoul. Sirine polisi menggema dimana-mana. Sekerumunan orang memadati area luar Blue House dengan membawa lilin serta beberapa batang bunga mawar putih. Angin musim gugur menyapu tapi ia tak kuasa memadamkan jilat merah kecil yang masih menyala sejak siaran pers usai. Doa dilakukan serempak dalam duka atas beberapa korban tindak terorisme yang belum lama terjadi. Beberapa hari yang lalu merupakan kesempatan baik bagi para pelajar kedua Negara untuk berkumpul dalam acara pendidikan diwakili oleh putri presiden Korea Selatan, di Pyeongyang. Tepat saat ia tiba di hotel, sebuah ledakan gas beracun terjadi. Cukup lama ketika Korea Selatan & Korea Utara mengumumkan perdamaian, tapi dendam masih belum berhenti sampai di sana.
Ketika api kecil itu berkumpul membawa kehangatan bagi yang berduka, sosok pria berusia 36 tahun mulai terlihat meninggalkan kerumunan. Ong Seongwoo menaruhkan bunga serta lilin kecilnya bersama doa serta harapan di tengah-tengah kekacauan yang terjadi saat ini. Kaki ramping itu menyelinap melewati desakan tubuh manusia lain seperti tak berujung. Dengan bantuan Uber, Seongwoo tiba di apartemen kecilnya, di pelosok Gangnam. Menjadi yatim piatu sejak kecil membuat Seongwoo harus hidup penuh harap. Dari beasiswa ke beasiswa, hingga menjadi salah satu lulusan terbaik Sekolah Kedokteran Harvard, merupakan pencapaian terbesarnya. Mengaku sebagai homoseksual kepada lingkungannya pun tidak ada pengaruh kuat, sebab mereka memandang Seongwoo dengan penuh keseganan. Selalu dibiayai penuh oleh pemerintah, kini Seongwoo mengabdi pada negaranya sebagai dokter bedah di Asan Medical Center
Seongwoo melepas sepatunya penuh irama. Mantel serta syal kini ia gantungkan di lorong menuju ruang tengah. Selepas mendudukan pantatnya di meja kerja, Seongwoo meraih kembali berkas yang sudah ia terima tadi pagi. Ia mengembuskan napas lewat mulut. Disponsori berbagai hal oleh Negara, mau-tidak mau Seongwoo harus mengayominya sebagai bentuk balas budi tanpa bisa berpikir lama-lama. Berkas itu merupakan surat perintah untuk sebuah misi, ekspedisi ke berbagai tempat di penjuru dunia. Berhubungan dengan kesehatan Jang Wonyoung yang mengalami kejanggalan.
Tersisa 10 jam lagi bagi Seongwoo untuk beristirahat sebelum pergi menuju rapat perdananya di Asan besok.
Berlomba-lomba dengan matahari, Seongwoo terbangun pukul 5 pagi. Hari ini ia berangkat dengan menggunakan mobil pribadi, meminimalisir kemungkinan untuk terlambat. Di pagi yang baru saja dimulai, banyak reporter yang sudah mengerubungi area rumah sakit. Seongwoo memilih untuk langsung berjalan menuju ruangannya dan berganti pakaian. Banyak dokter, terutama yang senior, sudah berkumpul jelang perundingan. Seongwoo merupakan salah satu dokter paling muda di sana, namun daya tariknya cukup mendominasi. Ia adalah kepercayaan petinggi rumah sakit Asan.
"Pagi, Dokter Ong," sapa seniornya yang sudah beruban.
"Pagi, Dokter Park." Seongwoo duduk bersama dokter lain yang usia mereka hampir sebaya dengannya. Meja oval itu semakin lama semakin terisi penuh. Hingga Kim Yunho, sang tangan kanan presiden, datang bersama Direktur Asan Medical Center untuk membuka rapat. Banyak wajah asing yang Seongwoo lihat dari berbagai belahan dunia. Semua orang yang tadinya berbincang-bincang mulai terdiam.
Jung Donghwan, yang punya rumah sakit, mulai naik ke atas podium. Layar proyektor spontan bergerak penuh gambar. Fokus kali ini tertuju pada gambar sel manusia yang tidak terlihat biasanya. Bermutasi tapi saling tumpang tindih.
"Nona Jang Wonyoung telah terinfeksi sebuah gas yang belum pernah kita jumpa sebelumnya. Lebih parah dari Hydrogen Sulphide. Kami tidak tahu bagaimana mereka bisa mendapatkan, atau menciptakan hal seperti ini."
Layar memperbesar objek sehingga terlihat beberapa warna seperti gradiasi. "Dari semua korban, hanya Nona Jang Wonyoung yang selamat. Ini mukjizat... tapi, kami masih kesulitan akan sebuah hal. Reaksi gas itu terhadap sel tubuhnya sangat tidak terkendali. Di hemoglobin, bahkan menjalar hingga ke struktur otak. Kami tidak bisa memastikan berapa lama ia bisa bertahan dalam kondisi komanya."