Aku duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponsel. Di telingaku terpasang earphone dari iPod yang sedang diputar lagu. Sebuah koper hitam berdiri disebelahku. Di tubuhku yang dilapisi jumper hijau, melilit tas selempang biru bergaris-garis coklat butut. Fokusku sepenuhnya terarah pada game kecil di dalam ponsel sejenis game Angry Bird untuk bocah.
Suara-suara ribut orang-orang berlalu-lalang tidak mengusikku, begitu juga dengan suara wanita yang mengumumkan tentang keberangkatan pesawat yang sebentar lagi lepas landas. Aku tidak peduli dengan pandangan aneh beberapa orang yang melihatku tengah serius seperti gamers autis yang duduk sendirian di deretan bangku kosong. Dalam prinsipku, selama tidak melakukan hal salah, aku tidak perlu terlalu memikirkannya. Benar,kan?
Yap, kali ini aku memang sedang berada di bandara. Tepatnya bandara Soekarno-Hatta di terminal keberangakat international. Duduk seorang diri di kursi. Menunggu pesat yang jadwalnya di-delay hingg dua jam lebih. Karena itu mood-ku sekarang jelek. Membuat tanganku tidak berhenti memencet-mencet kasar tombol ponsel untuk memenangkan game ke level berikutnya. Jadi jangan salahkan kalu sesampainya di bandara transit nanti aku menghamburkan uang untuk membeli ponsel baru dan sekantong cokelat.
Sebenarnya, kekesalanku ini tidak murni karena jadwal pesawat yang ditunda, tapi dikarenakan sebab lain, orang tuaku. Mereka melarangku untuk kuliah di Amerika. Mereka bilang terlalu jauh dan pergaulannya sangat bebas. Sebagai gantinya mereka memberikanku dua pilihan lain karena aku terus bersi keras ingin kuliah di luar negeri : Jepang atau Korea
Aku memutar bola mata mengingat adu argumen antar aku dan orang tuaku yang hampir mirip acara debat presiden di acara siaran langsung TV. Dari situ juga akhirnya diambil garis tengah. Orang tuaku tetap memperbolehkanku kuliah luar negeri asalkan aku memilih satu di antara dua option-nya.
Ayahku lebih setuju kalu aku kuliah di Jepang, sebab di san keluarga kakek kakeknya kakekku tinggal. Dari ceritanya dia bilang kalu aku masih memiliki darah keturunan keluarga “Saruwatari” atau entah apalah namanya dari ibuku yang memiliki mata sipit. Sekalipun ibuku kadang memungkirinnya,dan sekalipun aku memiliki wajah indonesia tulen, nenek buyut ibuku memang menikah dengan salah satu orang Jepangg saat Indonesia masih dijajah dulu. Jadi, walaupun hanya sedikit darah keturunan yang mengalir di tubuhku, aku tetaplah seorang keturunan Saruwutari sehingga jika aku pergi ke Jepang, mereka tidak akan mempermasalahkannya. Tapi tentu saja aku memilih tempat lain. Aku tidak punya alasan yang cukup bagus untuk menjelaskan tentang kenapa aku memilih Korea ketimbang Jepang. Padahal dalam diriku tidak ada sedikit pun minat pergi kesana, sama sekali. Negara itu seakan muncul begitu saja saat pertanyaan terakhir dijatuhkan oleh Ayah. Tidak ada acara travelling ke Houtson di Texas. Keliling New York dan mencari tempat-tempat wisata paling menarik, Salt Lake City dan Orlando tentunya masuk dalam list-ku.
Oh baiklah, mungkin seharusnya aku memilih Jepang tadi. Setidaknya di sana masih ada banyak tempat yang berhasil menarik minatku.
Aku mendesah keras sambil menutup flap ponsel. Kemudian mendorong tubuh hingga ke sandaran kursi dengan kesal. Kutarik topi rajut biru tua yang menutupi sebagian rambut hitam sebahuku hingga ke mata.
Pasti asik kalau aku bisa pergi ke Arizona, gerutuku dalam hati.
Suara koper yang digeret melewatiku membuatku menyibakkan topi itu ke posisi normal. Seorang gadis seusiaku duduk tidak jauh. Jarak kami hanya lima bangku. Aku bisa melihat jelas wajahnnya yang cantik. Dia tinggi, jauh lebih tinggi daripada aku yang hanya 162 cm. Rambutnya hitam bergelombang tergerai sampai bahu. Dia menggunakan baju batik dan celana soft jeans hitam. Gayanya sangat anggun seperti Putri Solo bahkan Miss Indonesia yang baru menang kemarin. Di tangannya ada sebuah buku yang terbuka. Bersampul jingga dan sangat tebal. Jika tidak salah itu sejenis novel fiksi fantasi yang beberapa waktu lalu pernah kulihat du toko buku. Dia membawa koper besar cokelat dan tas kecil. Gadis itu kelihatannya sangat serius sekali membaca. Fokusnya seolah tenggelam dalam dunianya sendiri. Waktu itu, aku belum mengenalnya. Aku hanya tahu kalau dia seorang gadis cantik yang sangat menarik seperti model-model kelas atas.
Ketika di bandara Soekarno-Harra aku juga kurang menaruh perhatian lebih padanya. Kesan pertamaku, dia mungkin seorang artis atau sejenisnya dengan gaya Putri Solo. Namun semua itu perlahan lenyap saat aku sampai di Incheon, Korea. Yeah... di sana aku bertemu lagi dengan gadis itu. Di tangan kanannya masih menenteng buku jingga yang sebelumnya dia baca. Dia sedang menunggu di dekat pintu keluar koridor kedatangan. Waktu itu aku tengah menunggu barang-barangku yang ditaruh di bagasi. Lalu tidak lama kemudian seorang laki-laki berkacamata hitam dengan rambut dicat pirang datang menghampiri. Gaya pakaiannya seperto bocah dan aku cukup tahu diri untuk tidak memperlihatkan ekspresi skeptik melihat penampilan semacam itu.
Si gadis mengembangkan senyumnya melihat laki-laki itu. Mereka kelihatan sangat serasi, seperti pasangan yang memang ditakdirkan untuk bersama. Saat itulah perhatianku langsung sepenuhnya tertuju pada mereka. Meskipun tidak memiliki minat sedikit pun pada namanya boyband atau sejenisnya, tapi untuk yang satu ini aku tidak bisa berpura-pura tidak mengetahuinya.
Bagaimana tidak, laki-laki yang memakai kacamata hitam itu, sekalipun ia tidak melepasnya, aku tetap bisa mengenali orang itu sebagai salah satu anggota boyband paling terkenal di Korea, bahkan dunia. Kalau ingatanku tidak salah, dia adalah Kevin Woo, salah satu personel band, terkenal Sirius!