Bulan sudah tinggi, jalan raya sudah renggang sedari tadi. Beberapa mobil kembali ke peraduan, beberapa ruangan masih memancarkan lampu tanda beberapa orang akan lembur malam. Malam ini bukan malam yang biasa untuk Jane. Hari ini dia akan melamar Andi, teman dekatnya. Kalian tidak salah lihat, Andi, memang hanya teman dekat. Bukan pria spesial, bukan pacar, hanya teman dekat. Kafe di daerah pusat kota telah di sewanya. Hiasan balon, rumbai tabir dan pita warna putih dan emas memberi kesan mewah yang tidak berlebihan. Lampu remang dan lilin di meja sudah dinyalakan.
Gaun merah marun terlihat anggun dan sangat pas membungkus tubuh tambunnya, pakaian terbaik yang ada di lemari pakaiannya. Jane hanya pernah mengenakannya sekali ketika mengahadiri pesepsi koleganya. Tangannya berkeringat sambil memenggang kotak berudu, tempat khas untuk menyimpan cincin. Kaki yang sedari tadi digerakkan ke atas dank e bawah tidak membantu mengatasi rasa gugupnya. Jane merapikan rambutnya lagi memastikan tatanan salon selama 2 jam masih bertahan. Lalu pria itu tiba. Setelan yang sengaja di kirim Jane sangat pas dan cocok untuk Andi. Setelan hitam dengan kemeja merah marun terlihat sangat cocok untuk kulit Andi yang pucat. Hanya saja sepatu olah raga kesayangan Andi tak cocok dengan setelan itu. Tapi tak masalah, Andi tetap datang menghampiri Jane dengan senyum merekah.
"apa lagi ide gilamu kali ini?" Andi tersenyum, menggaruk alisya yang tak gatal. Menarik kursi yang ada berhadapan dengan Jane yang diyakini memang untuknya.
"nikah yuk!" Andi terdiam beberapa detik tak sempat bokongnya mencium kursi pria itu menatap Jane. Belum sempat Andi mencerna apa yang dikatakan Jane, perempuan itu sudah menyodorkan cincin pada Andi. Jane menunjukkan jari manisnya menandakan ia sudah memakai cincin yang sama. Pria itu tercengang, menaikkan kedua alisnya dan menatap focus pada Jane. Andi menatap Jane dalam- dalam mencoba mencari celah candaan dari mata coklat wanita itu, karena candaan ini sangat tidak lucu.
"kenapa?" hanya itu tanggapa Andi, menikah bukan seperti ajakan menonton film, atau ajakan makan siang untuk mencoba menu baru di restoran. Andi sudah terbiasa dengan ajakan Jane untuk 2 hal itu."jawab dulu mau gak?" tuntut Jane.
"mau" Apa alasanku harus menolakmu, batin Andi.
"beneran?"Jane tak percaya dengan jawaban yang di terimanya, senyumnya merekah bahkan sampai gusi bagian atas terlihat jelas.
"kenapa?" Tanya Andi lagi seakan tak puas dengan reaksi Jane. Rasanya ini bukan Jane yang dikenalnya. Jane selalu berpikir dengan rasional. Tak percaya dengan dongeng, tak percaya pada pangeran kuda putih namun percaya bahwa es krim terbuat dari susu sapi dengan kalori yang membuatmu menyesal setelah memakannya.
"yakin mau?" Senyum Jane menghilang beberapa detik untuk memastikan jawaban yang diberikan Andi tak berubah dalam hitungan detik.
"kenapa enggak" Andi mengungkap isi pikirannya.
Hufh... Jane lega.
"mau cerita kenapa?"
Andi mengunggu Jane menjawabnya. Kepala gadis itu mulai menunduk. Tangannya memainkan pita sabuk di pinggang, memilinnya kebiasaan Jane ketika suasana hatinya sedang sedih. Jane benci menangis, membuatnya terlihat jelek katanya. Lilin di meja sudah meleleh setengah. Beberapa menit berlalu, air mata mulai berlinang di kedua mata gadis itu.
"Alex bakal nikah minggu depan" satu kata itu Andi langsung menindahkan kursinya ke dekat Jane memeluknya dari samping mendekapnya sehingga wanita itu dapat bersandar padanya. Tak butuh waktu lama air mata Jane langsung tumpah saat itu juga. Jane meraih Andi membuat mereka saling berhadapan, memeluk dengan benar.
"apa yang terjadi?" sudah lama Andi tak mendengar nama mantan Jane. Mereka berpisah beberapa bulan lalu. Namun ketika mereka berpisah Jane sama sekali tak menteskan air mata. Seharian setelah putus ia hanya mengajak Andi jalan- jalan seharian, memancing, menonton film lalu memakan sebuket eskrim hingga perut Andi sakit perut. Tapi Jane tidak menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acuh
RomanceKenapa kamu berhenti peduli? Karena aku pernah diacuhkan ketika berjuang.