Dunia.
Satu kata, namun memiliki definisi pribadi bagi tiap manusia. Bagi ibuku, dunianya berporoskan uang. Bagimu, pertemanan. Bagiku, dirimu.
Tidak, tidak. Aku becanda.
Mungkin aku menyukaimu. Namun kau bukanlah poros duniaku. Setidaknya, belum.Duniaku sempit. Duniaku gersang, retak, panas. Siapapun akan mati jika ada di dalamnya. Oleh karenanya aku membangun pagar duri yang tinggi di sekeliling duniaku.
Terkadang aku membayangkan duniamu. Dunia yang sepenuhnya berbalik dengan duniaku. Hijau, rimbun, banyak binatang hidup di sana. Bahkan manusia-manusia sering berkunjung ke duniamu. Dan terkadang ada beberapa dari mereka yang ingin hidup di dalamnya.
Aku salah satunya. Namun jika kedua dunia kita bertemu, hanya akan menimbulkan kehancuran bagi duniamu, aku tahu. Segala tumbuh-tumbuhan yang kau rawat sedemikian rupa bisa mati jika bertemu hawa panas dari duniaku. Dan aku sadar akan hal ini.
Oleh karenanya, aku sering diam-diam mengintip duniamu dari balik batu. Maafkan aku.Aku melihat nama. Entah nama milik siapa, aku tak tahu. Yang pasti dia ikut membantumu merawat para kancil (atau kijang) di hutan milikmu. Nama yang sering keluar-masuk di list tamumu. Nama yang perlahan kubenci, karena seharusnya tempat di mana nama itu berada menjadi tempat namaku berada.
Jujur, aku tak tahu. Apakah nama ini akan singgah, atau hanya sementara, atau bahkan akan tak kau izinkan lagi untuk mengunjungimu. Namun, yang aku tahu, sampai saat ini nama itu masih menggaung di kepalaku. Menciptakan scene-scene yang seharusnya tidak ada dan tidak perlu, dan tidak seharusnya kupikirkan. Karena setitik asaku masih ada untuk perkataanmu jauh hari dulu.Biarlah aku mengintip dari kejauhan saja, ya. Sampai kau memutuskan apa-apa yang baik bagimu. Duniaku tak cukup berarti untukmu, sebenarnya.
Ya, biarlah.