Pagi itu amat panas, matahari memang lebih terik dari biasanya, maklum sedang ada fenomena musim yang hanya hadir 5 tahun sekali. Meski panas itu sangat menjengkelkan tapi harus tetap aku nikmati, karena jarang sekali fenomena ini terjadi, seingatkuh di umur 18 tahun ini baru sekali aku merasakannya dan ku dengar dari ibu katanya di belahan dunia lainnya pun kadang terjadi juga musim panas seperti ini. Hanya negara negara dengan kesadaran menjaga alam yang tinggi yang sudah tidak lagi mengalaminya, aneh memang.
Pagi itu agar tetap menjaga kesehatan aku olahraga keliling kampung. Di sini banyak yang sakit, sampai jarang sekali ada yang berbicara karena takut tertular penyakit yang hadir di musim 5 tahunan ini, terutama untuk orang yang tidak memiliki pendirian, mudah sekali terkena penyakit ini.
Ketika beberapa lama olahraga aku melihat sosok yang tersenyum di setiap tiang dan gang-gang yang sering aku lalui, awalnya tak terlalu mengganggu, lama kelamaan dia seperti mengikuti, kemana pun aku melihat sosok itu selalu ada tetap menyajikan senyum yang sama. Di sebelah tiang listrik, di pinggir-pinggir tembok bersebalahan dengan vandal yang bertuliskan "Kebebasan Berpendapat Telah Ternodai" bahkan di warung-warung ketika aku sejenak berhenti untuk beli minum.
Wajahnya tidak terlalu menyeramkan, hanya senyumnya yang sama, sedikit mengganguku, seperti orang yang ingin minta belas kasihan dia menyajikan senyum yang dihias dengan keramahan, sedikit pula memberi kesan humble namun tak bisa menutupi bahwa senyumnya itu dipaksakan.
Aku tak terlalu menggubris, kupikir selama dia hanya tersenyum tak masalah buatku, tak perlu juga aku membalasnya. Aku tak mengenalnya. Barangkali dia tidak sedang tersenyum untukku.
Setelah selesai membeli minum aku melanjutkan lari pagiku, memasuki gang arah rumah, karena aku sudah lumayan lelah, ditambah hari semakin panas, semakin jauh berlari panasnya semakin terasa. Senyum-senyum itu masih mengikuti. Bahkan kini senyum-senyum itu sudah berada tepat di bahu orang-orang yang melintas di sekelilingku, wajahnya berbeda-beda namun senyumnya tetap sama.
Aku segera bergegas memasuki pekarangan rumah, Ibu sedang yang sedang menjemur pakaian tak memperhatikan aku datang, aku sangat lelah di tambah panas dan gangguan senyum-senyum itu terus terpikirkan olehku. Kenapa semakin jauh aku berlari mereka semakin banyak jumlahnya senyumnya sama hanya sedikit berbeda warna yang mengelilingi mereka. Merah, kuning yang paling terasa, tapi tak ada yang berwana hitam sedikitpun.
Apakah mereka hantu yang sudah tak lagi berada di kegelapan, kini bermetamorfosa menjadi warna-warna lain. Buatku warna apapun yang mengelilingi mereka tetap saja senyum itu seperti hantu. Mengikuti ke mana pun aku pergi.
Kini aku berjalan memasuki dapur untuk mengambil jus, ayah sedang membaca koran di ruang tamu. Kulihat headline koran itu berjudul sekumpulan orang yang menuntut hak mereka yang tak kunjung diberikan setelah beberapa tahun bekerja. Awalnya aku biasa saja, tapi perlahan ku perhatikan ada senyum yang mengelilingi ayah. Senyum itu sudah mulai membentuk. Semakin jauh ayah membaca senyum itu semakin sempurna. Aku tak berani berkata-kata takut kalau penyakit senyum inilah yang sebenarnya mudah menyebar di musim panas kali ini. Semakin besar senyum hantu itu semakin muram orang yang di hinggapinya.
Aku bergegas mengambil jus yang sudah disediakan ibu sejak tadi. Aku berlari memasuki kamar. Daerah dimana tak ada satupun senyum di dalamnya. Meski diluar musim panas ini sangat membuat stress tapi dikamarku serasa tak ada pergantian musim, disini lebih sejuk dari bagian lainnya dirumah ini. Kamar yang selalu aku rapikan dengan baik. Tak tercemar hantu senyum yang ku beri nama Ideologi