Di saat seperti inilah aku merasa sangat kesepian, ketika benar-benar tidak ada yang mengerti perasaanku, waktu sendiri tanpa seorang teman, bersahabat rindu teramat membelenggu.
Cukup kupendam, tak ingin nurani mendendam. Sadar harus berbuah sabar, wajah boleh tiada berbinar tatkala tiada bahu untuk bersandar. Tapi, jiwa haruslah tegar, tanpa keluh terumbar.
Bahasa kalbu, siapa yang tahu? Bibir membisu, tenang belum tentu. Diam tak jarang menjadi bahasa tersulit diterjemahkan, sering kali jadi cara terbaik bersabar dari beban.
Aku ingin menangis, hati rasanya pedih teriris. Namun, pantaskah air mata berlinang? Nyatanya hidup akan terus berjalan meski masa depan tiada selalu nampak terang.
(Puisi Narasi)