Cerita Mereka

123 10 15
                                    

Fujimura Mamoru, pernah merasakan yang namanya kelaparan hingga ia berpikir akan dijemput malaikat untuk menuju pangkuan Yang Maha Kuasa.

Tapi ia tidak pernah merasa semenyedihkan ini seumur hidupnya.

Dengan aroma obat-obatan dan koridor sunyi serta dinding bercat putih, Mamoru terduduk di kursi panjang koridor.
Iya, ia berada di Rumah Sakit.
Sedang berdoa kepada Tuhan, supaya tidak ada hal buruk terjadi pada seseorang yang kini berada di dalam ruangan tempat ia menanti kepastian.

Ia pernah memikirkan skenario ketika berada di Rumah Sakit, dan itu adalah untuk menemani seseorang yang paling ia sayangi, berjuang demi sebuah kehidupan kecil tanda cinta mereka, yang kelak akan meneruskan darahnya, lahir ke muka bumi ini.

Tapi hal seperti ini?
Sungguh, tak pernah terbersit sedikitpun di benaknya.

Sayang sekali tidak ada pachira ukuran saku untuk ia sembah.

Mungkin ia harus mempertimbangkan membeli gantungan kuncinya saja, untuk kasus mendesak seperti sekarang misalnya.
Toh selama ini pachira selalu bisa menjadi pelarian terbaik ketika pikirannya tidak karuan.


Ah, pachira.


Kenapa Mamoru harus sepayah ini?
Padahal hari ini seharusnya sempurna.

Ia sudah merencanakan semuanya dengan matang sejak beberapa bulan yang lalu.
Bahkan persiapannya memakan waktu bertahun-tahun, untuk sekedar memantapkan hatinya yang rapuh itu.

Pemuda itu menghela napas, kembali berdoa pada Tuhan, Dewa, Dewa Pachira, demi apapun yang mendengar doanya, Mamoru berharap semuanya akan baik-baik saja.
Ia hanya ingin semua ini cepat berakhir, segera bisa melihat dua manik biru itu bercahaya dan bibir itu memanggil dengan suara lembutnya.




"Mamoru."




"Hah?!? Iya..??"

Mamoru terperanjat.
Ia menatap kaget sosok yang berbaring di ranjang Rumah Sakit itu.


"Aku baik-baik saja. Mamoru tidak perlu lagi khawatir."


Mamoru menggenggam tangan yang diselipi selang infus itu.
Ia berusaha sebisa mungkin memberikan senyuman terbaiknya.

Terimakasih, Dewa, Tuhan, Pachira, karena kini orang yang amat ia sayangi ini baik-baik saja.
Sekian jam penantian menunggu pujaan hati dirawat oleh tim medis amat menyita stamina dan membebani mentalnya.

Sungguh.
Ini seperti berlari memutari slump yang melanda, nyaris tiada akhir dan melelahkan.
Syukurlah sekarang semuanya telah kembali normal.

Ia mengecup lembut jemari itu.


"Syukurlah kalau baik-baik saja...

...Kou-kun."


.



Koki yang masih terlihat pucat itu tersenyum seperti biasa.
Sungguh, bahkan di saat seperti ini pun healing power Koki membuat HP Mamoru bertambah drastis.


Mungkin Tuhan menciptakan Koki dengan segala hal berkualitas terbaik, hingga mahakarya yang senyumnya pun layak untuk menjadi harta nasional ini menjadi sosok yang amat sempurna tanpa noda dan cela.
Mamoru tiba-tiba rendah diri.

Tidak, harusnya di kondisi ini Mamoru lah yang memberi semangat pada Koki.
Karena bagaimana pun leader Growth ini bisa sampai seperti ini karena Mamoru juga.

Another StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang