#1. Perpisahan Tanpa Penjelasan

19 0 0
                                    


20 November 2018

Siang ini terasa begitu terik walau angin pantai terasa sangat kencang. Oh mungkin karena suasana hatiku sedang panas, itulah sebabnya siang ini terasa begitu sangat panas. "ini maksutnya kamu manggil sayang ke Tia apa?" tanyaku sembari menahan emosi yang ingin meledak. Ia terkejut saat aku menanyakan itu, tapi setelah beberapa detik ekspresinya tampak sangat tenang seperti sudah biasa menghadapi hal seperti ini.

"maaf sayang aku salah. Aku gabisa kalo berhenti komunikasi sama dia, karena banyak yang harus aku tanyakan ke dia tentang organisasiku. Aku Cuma bahas itu sama dia, ga lebih dari itu sayang." Ucapnya.

"Lucu deh kamu itu. Kalo emang bahas tentang organisasi yauda. Kenapa mesti panggil sayang sih. Maksutnya apa gitu loh," aku masih mencoba untuk menahan amarah. "inget yaa aku gaakan marah kalo itu emang urusan organisasi atau kampus. Tapi kalo kamu manggil dia sayang, jelas aja aku marah. Dan selama ini nyatanya kamu ketemuan sama dia tanpa bilang ke aku kan? Kalo emang diantara kalian itu gaada apa-apa kenapa harus sembunyi-sembunyi dari aku." Ucapku menyambung ucapanku yang sempat terhenti karena aku harus menghela nafas panjang untuk meredam emosiku.

"iyaa aku salah. Maaf." Ia menatapku begitu dalam. "aku juga butuh tempat untuk cerita ketika aku ada masalah." Lanjutnya.

"kamu kan bisa cerita ke aku!"

"maaf sayang. Kita sama-sama anak pertama. Aku sama kamu itu sama, kita sama-sama gampang emosi. Aku takut ketika aku emosi ada masalah kamu juga akan marah." Ucapnya mencari pembelaan.

Secara tidak langsung ia salah mengerti aku. Ingin sekali rasanya memaki-maki dirinya, tapi lagi-lagi tak bisa. Aku terlalu menyayanginya. "aku akan marah? Coba lihat selama ini. Kamu sering marah-marah gajelas, apa aku pernah marah balik ke kamu? Apa yang aku lakukan? Aku mencoba menjadi air ketika kamu menjadi api. Gausa balik menyalahkan aku deh." Ucapku kesal.

Sepanjang perdebatan ia terus saja mengutarakan pendapatnya yang seolah-olah disini aku yang salah. Aku yang tak bisa mengerti dirinya. Satu bulan kami bersama, seringkali ia melampiaskan amarahnya padaku, dan aku selalu mencoba sabar untuk menghadapinya. Dalam kurun waktu satu bulan itu pula, baru sekali aku marah, itupun karena posisiku yang sedang kesal dan tidak enak badan. Tapi apa yang terjadi, ia justru marah balik kepadaku.

Akhirnya di siang itu aku memutuskan untuk mengalah karena niat awal kami ke pantai adalah untuk liburan. Aku tak ingin liburanku justru malah dengan suasana tegang seperti ini. Aku mencoba mengalah dan mengikhlaskan apa yang terjadi. Di hari itu kami benar-benar menghabiskan waktu berdua. Hampir satu hari tanpa sinyal internet, tanpa bermain media sosial.

"ayoo foto disana ih." Ucapku merayunya yang sedang tiduran menikmati angin pantai dibawah pohon.

"nanti aja ih, nunggu agak sorean. Masih panas tuh. Akutuh gabisa kepanasan." Ucapnya sambil melirikku lalu kembali memejamkan mata.

"astagaa udah kayak vampir aja kamu ya."

"kan memang aku vampir." Ucapnya dengan mata tertutup.

Aku terus mengganggunya yang sedang mencoba untuk tidur. "eh kamu yaa. Adzab seorang istri yang mengganggu suaminya yang sedang tidur, nanti kamu jadi.." iya terdiam sebentar dan berkata, "batu nisan." Ucapnya sambil mengejekku.

"ih yaudah gapapa. Aku jadi batu nisan buat kamu." Ucapku tak mau kalah.

"eh kalo gitu aku mati dong?" ucapnya sambil menyipitkan matanya terhadapku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 26, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ini Rencana Tuhan, Bukan RencanakuWhere stories live. Discover now