Prolog

110 1 0
                                    

Riasan yang mengelokkan paras berkali-kali lipat dari biasanya, gaun elegan yang lekat di badan dengan ekor yang menjuntai panjang dan dihiasi permata di beberapa bagian, rambut yang ditata sedemikian rupa dan dihiasi veil sutra indah yang meningkatkan kesan anggun di diriku yang sedang mematut diri di depan kaca. Sempurna. Ini semua sesuai dengan bayanganku mengenai gaun pernikahan yang sudah kubayangkan sejak kecil jika suatu saat nanti aku menikah.

Aku menoleh ke jendela, di luar, pesta pernikahan dengan konsep outdoor dan garden party sudah tertata dengan apik. Dekorasi, kue, altar, semua yang kurancang di dalam impian terkabulkan hingga detil tekecil. Semua sudah siap. Hanya beberapa orang yang sedang lalu lalang untuk mengecek persiapan akhir untuk acara yang akan berlangsung satu jam lagi.

Tapi ada satu hal yang tidak sesuai impianku, bukan, bahkan pikiranku tak mampu untuk membayangkannya sedikitpun. Itu adalah...

Suara ketukan pintu menghentikan lamunanku. Aku menyahut pelan mempersilakan siapapun itu masuk. Sebuah sosok membuka pintu dan langsung membungkuk menghadapku. Ternyata itu butler kami, Aydan.

"Nona, Tuan Devorick dan rombongan sudah datang. Paduka Raja dan Ratu akan menyambutnya, namun anda diminta tetap disini sampai acara akan dimulai."

Aku mengangguk pelan. "Baiklah, kau boleh pergi, Aydan."

Namun, hingga beberapa saat Aydan tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menunduk dan sesekali melihatku, seakan ada yang ingin dikatakannya.

"Ada apa? Katakan saja, Aydan. Ketika kita hanya berdua, kau tidak perlu terlalu formal. Bagaimanapun, kaulah yang sudah mengurusku dan ayah sejak kecil." Ucapku lembut.

"Nona... Apa anda... Baik-baik saja?"

Topeng yang kupasang sejak tadi mendadak luruh menjadi tatapan menahan tangis. Tidak, aku tidak boleh menangis. Riasanku akan luntur, juga, aku akan terlihat lemah. "Aku bohong bila aku bilang baik-baik saja. Tapi, tidak ada kebanggaan yang paling besar dari mengorbankan diri sendiri demi kerajaan ini, Aydan."

Sosok renta di hadapanku bergetar, tangannya mengepal dengan kencang. "Andai saja saya bisa melakukan sesuatu untuk nona..." suaranya gemetar bagaikan sedang menangis, namun tak ada air mata yang terlihat di matanya.

Aku berdiri dan berjalan anggun ke arahnya. Aku menghembuskan napas dalam-dalam dan berkata dengan nada paling tegas yang bisa kuusahakan saat ini. "Angkat kepalamu, Aydan. Lihatlah aku, putri Maeve Eleanor Roudenville. Aku bukan putri sembarangan, aku adalah putri dari Raja Roudenville yang terhebat sepanjang sejarah kerajaan. Aku juga adalah putri yang diasuh olehmu yang juga telah mengasuh Raja dahulu. Aku tidak selemah itu. Aku adalah putri yang bangga dapat melindungi kerajaan ini. Percayalah, aku akan baik-baik saja, Aydan."

Air mata butler-ku yang dulu selalu keras mendidikku mengalir dari mata abu-abunya. Pemandangan ini membuatku menyadari Aydan memang sudah tua dan dia sangat menyayangiku. Aku tidak tahan untuk tidak memeluk orang yang sudah kuanggap sebagai ayah keduaku ini.

"Aku akan bahagia, Aydan. Aku masih bisa memberikanmu senyuman terindah untukmu. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Aku tersenyum tulus padanya, meski aku tidak bisa menahan setitik bulir air mata keluar dari ujung mataku.

Aydan yang sudah seumur hidupku menjadi butler-ku, menarik keluar saputangannya dan menghapus bulir air mataku dengan sigap. "Benar, saya percaya anda adalah putri yang kuat yang saya ketahui selama ini. Jangan menangis nona, bagaimana anda bisa memberi senyuman terindah jika wajah anda kacau oleh air mata?"

Aku tertawa. "Sekarang aku mengerti kenapa Madame Gilbert memilihmu, Aydan. bahkan di usiamu yang sekarang, kemampuanmu untuk berbicara manis tidak juga luntur."

"Menjadi seorang gentleman tidak mengenal usia, nona. Sekarang, saya benar-benar akan mohon diri. Saya akan memastikan hari ini akan menjadi salah satu hari terindah dalam hidup nona. Saya permisi." Aydan membungkukkan badannya sekali lagi dan ia menghilang dari pintu kamar tungguku.

Aku masih berdiri terpaku untuk beberapa saat untuk kemudian terhuyung ke belakang menuju sofa dan menjatuhkan diriku di atasnya. Aku tidak peduli gaunku jadi kusut atau bagaimana. Aku merasa lelah berpura-pura kuat seperti ini. Kuhela napasku dengan keras, yang sama sekali tidak mencerminkan sebagai sikap seorang putri. Meski sebenarnya aku lebih ingin mengacak-acak rambut atau merobek gaunku saat ini. Aku benar-benar kesal. Aku tidak ingin menikah.

Kenapa? Karena satu hal yang tidak ada dalam impianku itu. Itu adalah calon pengantinku. Tidak, dia bukan raja tua bangka dari kerajaan lain. Dia juga bukannya buruk rupa, atau seorang playboy. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Normalnya, aku tidak masalah jika ayahku menyetujuinya. Tapi, ayahku terpaksa dalam hal ini, demi menyelamatkan kerajaannya. Ayahku terpaksa menikahkanku dengan...

...seorang iblis.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 03, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Demon's BrideWhere stories live. Discover now