Petani Muda

16 1 0
                                    

1808, sebuah kisah kelam terjadi pada era Kolonial Belanda. Bagaimana para pribumi yang bekerja sebagai petani harus menyerahkan hasil panen serta membayar pajak kepada Belanda. Para pribumi banyak yang mati kelaparan karena tak sanggup untuk membeli makan karena semua hasil panen harus diberikan kepada Belanda.

Kala itu Ratu Belanda memerintahkan seorang Jendral Belanda yang bernama Joan Van Denco. Jendral yang terkenal sangat kejam layaknya Daendels. Ratu Belanda menyuruhnya untuk mengambil hasil panen para petani.

Jendral Van Denco akhirnya bertugas. Ia selalu meminta hasil panen dan pajak secara paksa. Bagi petani yang tak sanggup membayar akan dijatuhkan hukuman mati.

Suatu ketika Jendral Belanda yang dikenal sangar ini datang ke rumah seorang petani muda. Ia meminta pajak dan hasil panen. Tanpa mengetuk rumah dan mengucapkan salam ia langsung mendobrak pintu rumah tersebut seraya berkata "hei petani bajingan!! Keluar kau, ini saatnya kau membayar pajak dan berikan kepadaku hasil panen mu!". Petani muda itu hanya pasrah agar ia dan ibunya tetap bisa hidup.

Petani muda itu bernama Armin. Armin adalah seorang yatim. Ayahnya tertembak mati ketika hendak berontak untuk mengusir para penjajah. Ia tinggal bersama ibunya yang sudah tua. Armin dan ibunya tinggal di sebuah gubuk tua yang sudah tak layak. Sehari-hari ia hanya bisa memberikan singkong yang sudah tak layak untuk dirinya dan ibunya yang sudah rentan usia, apalagi ibu Armin sedang dalam kondisi sakit. Armin dikenal oleh para petani lainnya sebagai petani muda yang sangat kerja keras dalam menggarap sawah dan perkebunannya.

Setiap malam Armin selalu bermohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar ia selalu bisa mencukupi kebutuhannya.Usia Armin saat ini sudah cukup matang untuk menikah, namun ia belum bisa mencari calon pasangan hidupnya yang ia pikirkan hanyalah seorang ibunya.

Setiap hari, ibunya selalu menanyakan jodoh untuk anaknya. Armin hanya bisa bersenyum dan hanya bisa bilang "yang penting ibu sembuh terlebih dahulu, dan ibu bisa melihat aku menikah". Seringkali mereka berdebat agar Armin sesegera mungkin menikah.

Pagi buta, Armin hendak berangkat untuk bertani. Ia tak lupa mengucapkan salam kepada ibunya dan mengecup pipi ibunya. Sesampainya di petani terlihat seorang Tentara Belanda hendak sedang menyiksa seorang petani. Armin hanya bisa terdiam dan menelan ludahnya sambil mengingat ayahnya yang mati tertembak di sawah karena menentang Belanda. Selepas ketika Tentara Belanda itu pergi, Armin langsung menuju petani tua itu. Armin memberikan bekal singkong rebus sisa kemarin kepada petani tua itu. Petani tua memakan bekal yang telah diberikan armin dan berkata "wahai petani muda, jangan sepertiku dan jangan sampai engkau sepertiku anak muda. Terima kasih atas budi pekertimu nak". Armin hanya bisa bilang "sama-sama pak, ngomong-ngomong kenapa bapak disiksa seperti tadi?". Petani tua itu menjawab "itu biasa nak. Aku belum bisa memberikan hasil panenku dan pajak kepada Belanda. Jika aku tak membayarnya lagi dalam satu bulan kedepan, hidupku akan berakhir dengan pelatuk". Armin hanya bisa meratapi Petani Tua itu.

Armin langsung bergegas untuk bekerja dan ketika sore ia pun pulang segera sambil membawa singkong. Ia juga membawa beberapa tumbuhan herbal untuk ibunya yang sakitnya mungkin tambah parah. Ia juga membawa beberapa buah yang sudah panen dan diam-diam agar Belanda tak mengetahuinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MaisieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang