Aku Bukan Mereka

1.3K 19 0
                                    

Satu malam berlalu, sepi. Hanya jejak kenangan yang datang mengusik. Aku terlarut akan kepergian ayah 5 tahun yang lalu. Aku teringat semua kenangan saat ayah masih ada, sebuah keceriaan di rumah ini, yang kini hilang sejak kepergian ayah. Seketika, aku tersentak kaget saat bunda memanggilku.

“Lyra……bunda ingin bicara sama kamu!” kata bunda tegas.

“iii..iya bunda, Lyra akan segera kesana!” kataku gugup.

Aku segera menemui bunda. Seperti biasa, bunda hanya diam dan menatapku tajam. Setelah beberapa menit kemudian, bundapun mulai bicara.

“Lyra, bunda kecewa sama kamu. Tadi Bu Ira telepon, katanya nilai kamu turun!” kata bunda.

Belum sempat aku jawab bundapun melanjutkan bicaranya.

“kamu seharusnya contoh kakak kamu, dia selalu mendapat juara kelas, nilainya juga tidak pernah turun. Tidak seperti kamu yang bisanya main-main saja, hingga nilaimu turun!” lanjut bunda.

“maaf bunda, Lyra akan memperbaikinya.” kataku lirih.

 Keesokan harinya, ketika pulang sekolah. Aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku terdiam di sudut kelas, berfikir keras untuk bisa menjadi yang dibanggakan bunda. Selintas aku teringat atas ucapan bu Ira, bahwa aku dan Thya terpilih mewakili sekolah kami untuk lomba OSN matematika, lomba itu akan dilaksanakan minggu depan. Akupun tersenyum, juga menangis berharap bisa menjadi juara. Tiba-tiba Lia datang menghampiriku. Lia adalah sahabatku sejak SMP. Dialah satu-satunya orang yang mengerti aku, dan selalu setia mendengarkan segala keluh kesahku.

“Heii, ngapain masih disini?” tanya Lia

“Ooh, ngak lagi ngapa-ngapain kok, ini juga udah mau pulang!” jawabku

“Oya, selamat ya kamu terpilih untuk ikut OSN matematika” katanya dengan penuh semangat.

“Hehe, iya makasih ya li…” kataku

“sama-sama” jawabnya singkat.

Sesampainya dirumah aku terdiam, takut dan bingung  saat melihat bunda yang sudah berdiri di depan pintu, wajahnya terlihat marah.

“Lyra, kenapa kamu baru pulang?” tanya bunda ketus.

“maaf bunda” jawabku

“Kamu tuh ngak pernah mau nurut sama bunda. Coba kamu lihat si Nina anak bu Yuli. Dia selalu nurut sama ibunya. Seharusnya kamu bisa contoh dia.” jelas bunda.

Hari yang ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga. Aku segera bergegas ke sekolah untuk berkumpul dengan Thya dan beberapa orang guru yang akan mendampingi aku dan Thya mengikuti OSN. Sesampainya di SMAN Pelita, tempat dilaksanakannya OSN matematika. Aku menjadi gugup, karena aku melihat begitu banyak siswa/siswi dari sekolah lain yang akan mengikuti OSN juga. Namun, semua kecemasan itu memudar setelah aku mengingat tekadku untuk membanggakan bunda.

Pemenang lomba OSN akan diberitahukan 3 hari setelahnya, namun baru akan diumumkan di sekolah pada hari Senin, seusai upacara bendera. Aku tak sabar menunggu pengumuman tersebut. Sampai pada akhirnya, hari itupun tiba. Ternyata aku mendapat juara 3. Juara 1 diraih oleh Thya dan juara 2 diraih oleh Lulu dari SMA Harapan. Aku sedikit kecewa, namun aku tetap senang karna masih bisa dapat juara. Aku tidak sabar umtuk memberitahu bunda dan memberikan piala ini untuk bunda. Semoga saja bunda bisa bangga padaku.

Saat aku melangkah menuju kelas, aku mendengar beberapa orang yang sedang membicarakan aku dengan Thya mengenai pengumuman tadi.

“Eh, kasian banget ya si Lyra cuma dapet juara 3.”

“Iya, bener. Beda banget dengan Thya ya, dia hebat banget bisa dapet juara 1. Huuft, pasti bangga banget tuh ibunya punya anak seperti dia”

“iya, aku tahu, tapi jangan bicara seperti itu dong! jangan banding-bandingkan aku dengannya” sahutku dalam hati.

Di saat yang sama, bu Ira menghampiriku.

“Lyra, kenapa kamu Cuma bisa dapet juara 3?” kata bu Ira

“seharusnya kamu bisa belajar banyak dari Thya. Walaupun, dia aktif mengikuti banyak ekskul, tapi dia tetap bisa menjadi juara, dan nilainya juga tidak pernah turun!” lanjut bu Ira.

Lagi-lagi aku hanya bisa diam, saat semuanya membanding-bandingiku, dan hanya bisa diam saat mereka memuji orang lain dihadapanku, tanpa memperdulikan perasaanku. Aku berharap kali ini bunda tak marah padaku dan bisa bangga padaku, karna satu hal yang ku inginkan adalah membuat bunda bannga memiliki anak seperti aku. Namun, rasa pesimis muncul setelah mengingat perkataan beberapa orang tadi dan bu Ira.

            Bel pulang sekolah berbunyi, aku terkejut dalam lamunanku. Aku segera bergegas untuk pulang , dengan membawa harapan besar dalam hatiku. Sesampainya dirumah aku segera mencari bunda. Tak sengaja aku melihat bunda yang sedang menatap foto ayah. Wajahnya terlihat ada kerinduan yang mendalam. Aku tersentak melihatnya, akupun tak kuasa menahan air mata yang menetes membasahi pipiku. Tak lama kemudian, aku merasa bunda mengetahui keberadaanku, akhirnya aku segera ke kamar. Beberapa saat kemudian bunda masuk ke kamarku dan menanyakan mengenai pengumuman OSN tadi.

“Bagaimana hasil pengumumannya? kamu dapet juara 1 kan?” Tanya bunda dengan penuh harap.

“Eee..e..aku cuma dapet juara 3 bunda!” jawabku lirih

Bunda tak merespon jawabanku.

“bunda bangga kan sama Lyra?” tanyaku cemas

“Tidak.” jawabnya singkat

“kenapa bunda?” tanyaku

“karena kamu hanya bisa menjadi yang ketiga, bukan yang pertama, karena kamu tidak bisa menjadi seperti kakakmu yang selalu menjadi juara, dan karena kamu..”

“cukup bunda, Lyra nggak mau denger lagi!”kataku , memotong ucapan bunda.

Harapanku sirna, hatiku sakit serasa teriris-iris mendengar ucapan bunda. Aku tak sanggup menjalani hidup yang seprti ini. Pikiranku melayang entah kemana, semuanya…..semua perkataan bunda,bu Ira , dan teman-teman menghantui pikiranku.

Sampai pada akhirnya, aku melakukan hal yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.

            …….

Mata bunda terbelalak kaget, melihat tubuhku terbaring dilantai dan dari mulutku mengeluarkan banyak busa. Tubuh bunda semakin lemas tak berdaya saat membaca secarik kertas disampingku.

Bunda, maafin Lyra kalo selama ini tidak bisa menjadi yang bunda harapkan dan bunda banggakan. Lyra merasa sudah capek mendengar perkataan bunda dan yang lainnya, yang tidak pernah menganggap Lyra sebagai Lyra. Melainkan bunda selalu membanding-bandingkan Lyra dengan kak’Ayu, Thya, Nina, dan lainnya. Bunda, Lyra ini bukan kak’Ayu dan Thya yang pintar, bukanlah Nina yang penurut. Tapi, Lyra adalah Lyra. Walau begitu, Lyra selalu berusaha menjadi yang bunda inginkan, tapi kenyataanya bunda tidak pernah menghargai usaha Lyra. Lyra ingin sekali bilang pada kalian bahwa Aku bukan mereka” kataku yang aku tulis dalam kertas tersebut.

Bunda segera meminta bantuan dan membawaku ke rumah sakit. Sesampainya disana, dokter segera menanganiku. Tak lama kemudian, dokter keluar dan memberi tahu bunda bahwa nyawaku masih tertolong. Tujuh jam berlalu, akupun sadar, saat aku membuka mata, aku melihat bunda dan kak’Ayu disampingku dan di sekelilingku ada teman-temen juga bu Ira .Tiba-tiba bunda memelukku dengan sangat erat.

“Lyra,bunda minta maaf. Jangan tinggalin bunda Lyra. Karena kamu adalah Lyra anak bunda. Kamu harus tahu, bunda tidak bermaksud membanding-bandingkan kamu, semuanya bunda lakukan karena bunda sayang sama kamu. Mungkin cara bunda yang salah.” ucap bunda lirih, wajahnya terlihat lesu dan cemas.

“iya Lyra, kita semua minta maaf.” sahut yang lainya serempak.

“Ly-ra ju-ga min-ta ma-af, tap-pi ja-ngan bandingi a-ku dengan me-reka, kar-na a-ku bu-kan mereka” kataku terbata-bata

“iya de, kita semua sadar telah ,melakukan kesalahan sama kamu. Kak’Ayu juga telah salah karna tidak pernah memperhatikan kamu, karna kakak terlalu sibuk dengan urusan kakak sendiri”kata kak’Ayu

“jan-ji ya..he-he. Ly-ra sayang ka-lian!” kataku, sambil tersenyum

            Aku merasa sangat bahagia, karena bisa melihat senyum tulus bunda dan kak’Ayu lagi yang sudah lama hilang sejak kepergian ayah. Aku yakin ayahpun juga akan tersenyum melihat kebahagiaan kami. Semoga akan selalu seperti ini.

by. Syahidinar Akbari

Aku Bukan MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang