Apalagi yang hendak diucap, kota ini elok nian di pelupuk mata. Begitu indah ketika semburat matahari muncul di kejauhan horizon cakrawala. Membuat jingga hamparan laut yang beriak tenang. Burung camar melengking mengisi senyapnya udara pagi.Ombak pelan menggulung bibir pantai. Buih membasuh butiran pasir yang halus bagai es krim saat diinjak.
Bayangan gedung-gedung, pepohonan, tiang listrik, kabel-kabel telepon terlihat menyenangkan di jalanan lengang. Satu-dua lampu taman berbentuk bola putih susu masih menyala. Juga lampu neon panjang-panjang di depan ruko. Belum, atau lupa dimatikan.
Temaram nan indah menempati ruang di sudut-sudut kota. Sibuk berebut pesona dengan larikan cahaya matahari pagi. Syahdu. Lukisan panorama yang sempurna. Tambahan satu larik saputan warna saja membuat lukisan itu jadi tidak enak lagi dilihat. Jadi, jangan coba-coba malah iseng menambahkan objek baru.
Di belakang kota, perbukitan seperti sabuk melingkar mengelilingi. Bak ksatria gagah, berdiri kokoh menjaga kota. Hutan hujan tropis lebat menutupi perbukitan. Bagai sehelai beludru hijau sepanjang mata menatap. Hijau? Ah, tak juga... tepatnya tidak selalu hijau. Lihat saja pagi ini, kabut putih sempurna mengungkung hijaunya dedaunan. perbukitan tampak bagai selimut putih lembut, seperti kapas, seperti busa sabun, seperti enahlah.... Yang pasti memberikan nuansa melegakan
Kota ini tidak kecil, juga tidak besar. Satu diantara belasan kota khas pelabuhan pesisir selatan yang nyaman. Lembah luas yang subur menghampar dari batas kota hibgga perbukitan,menyisakan tanah kosong, daerah pedesaan.Tanah yang hari ini dipenuhi oleh persawahan.
Tunggulah setengah jam lagi, saat matahari beranjak dari garis lautan,ketika pagi mulai meninggi, pematang sawah juga mulai dipenuhi petani yang riang menjemput hari.Kepala dengan topi ilalang. Cangkul di pundak. Sepatu bot setinggi lutut. Dan bekal tiga potong pisang rebus. Bakal nikmat nian, pukul 10.00 nanti istirahat sejenak di pondok rumbia setelah bekerja membersihkan gulma. Santai menyeduh segelas kopi hangat sambil menikmati riuh burung pipit,kelepak bangau putih, dan lenguh kerbau berkubang.
Sementara itu, pelelangan ikan dekat pelabuhan sejak shubuh sudah dipadati nelayan. Mereka baru menepi setelah semalaman melaut. Sibuk menumpahkan berember-ember udang sebesar lengan, cumi sebesar tinju, kepiting dan rajungan sebesar buku, dan tidak terhitung banyaknya ukuran ikan-ikan lain. Mulai dari ikan teri sebesar jari, ikan pari sebesar tampah, hingga ikan kakap dan baronang ekstra-double-size sebesar paha orang dewasa.
Jika sedang beruntung, ada yang pulang membawa hiu sebesar lemari. Bukan main. Harga jualnya setara dengan persediaan solar untuk setahun.Di sini hiu memang mahal, sama bernilai dengan posisinya di lautan sebagai penguasa strata tertinggi rantai makanan.
Pemilik ruko-ruko juga mulai membuka partisi depan. Bunyi pintu aluminium didorong terdengar berderit-derit. Membuat gigi ngilu. Tapi mereka justru tersenyum,mendesah di sejuknya udara, berdoa lirih semoga hari ini pengunjung lebih banyak dari kemarin. Dan lebih penting lagi, semoga pengunjung-pengunjung itu membawa uang lebih banyak disertai niat membeli. Kan, tak ada gunanya kalau toko cuma ramai doang, memangnya pasar festival.
Anak-anak di rumah ramai beranjak mandi, tepatnya setelah ibu-ibu mereka terpaksa mengencangkan urat leher--meneriaki untuk mandi. Beramai-ramai menggosok gigi gaya kilat--mana tahu mereka soal iklan dan panduan menggosok gigi yang benar. Menyemburkan busa sabun banyak-banyak--bersih atau tidak yang penting busanya banyak. Bekecipak-kecipak lagi, terpeleset lalu nengaduh--meski sejenak kemudian berganti dengan tawa lagi.
Bergegas anak-anak itu berganti pakaian sekolah. Memakai sepatu dengan cepat. Lantas teriak berpamitan. Wushh,macam mobil balap, sekelebat mereka tak tampak lagi di ujung mata.
Pekerja kantoran juga sudah rapi dengan rambut klimis, kemeja lengan panjang wangi, dan celana katun tetsetrika mulus--terlihat dari garis lipatannya yang tercetak jelas.Tak lupa sepatu hitam mengkilat. Setelah sarapan, mencium pipi istri dan anak-anak tercinta,memberi 'petuah', lantas mereka berpamitan. Menjemput hari.
Benarlah, dalam setengah jam ke depan,kehidupan kota ini baru saja dimulai. Hari baru berikutnya sudah tiba. Sama indah dan menyenangkan dengan hari kemarin, juga hari kemarinnya lagi, juga hari kemarin-kemarinnya lagi, juga hari kemarin-kemarin-kemarinnya lagi, juga hari kemarin-kemarin-kemarin-kemarin.... Aduh, kebanyakan kemarin-nya, ya? Hanya ingin menggambarkan, betapa kota ini memang selalu Indah.
Cerita ini juga baru saja dimulai, meski di sana-sini sayangnya
tidak selalu seindah kota ini. Menyedihkan malah. Bahkan, satu-dua membuat napas terhela panjang. Tapi tak mengapa. Semoga dengan begitu justru dapat memberi banyak. pelajaran.Semoga....✴ "Bunda, bangun! Sudah pagi.... " Melati berseru sambil melompat riang ke atas ranjang ukuran king-size.Tertawa.
Cahaya matahari pagi menyelisik celah krei. Membentuk garis di lantai keramik super-mewah kualitas ekspor. Cahaya yang seolah mengambang bersama kabut. Satu lariknya menimpa wajah Melati. Gadis kecil berumur enam tahun. Mukanya lucu menggemaskan, layaknya anak-anak--selalu senang mendengar kabar apa-saja.
Rambut ikal Melati mengombak, bandel tidak mau lurus-lurus juga meski disisir berjam-jam. Pipinya tembam macam donat. Bola matanya hitam-legam seperti biji buah leci. Dan giginya kecil-kecil bak gigi kelinci. Jangan tanya gurat wajahnya. Kalian akan tertipu dengan seringai bandelnya. Kalian akan selalu bilang "iya" demi menatap senyum manisnya.
"Bunda,bangun! Bunda kesiangan, nih!" Jahil Melati menarik selimut bundanya. Berteriak lagi. Tertawa lagi. Merangkak lebih dekat. Mengeluarkan sehelai bulu ayam yang diperolehnya kemarin dari Mang Jeje, tukang kebun. Jahil!
Bunda menggeliat, membuka mata. Pelan menyadari pagi. Kemudian tersenyum lebar demi menatap sang putri yang tengah bersiap dengan "rencana jahat",memainkan bulu ayam itu ke lubang hidungnya. Bunda sebenarnya sudah bangun sejak shubuh. Malah sejak pukul dua tadi malam, disepertiga akhir waktu terbaik yang dijanjikan. Menghabiskan sisa malam dengan bersimpuh menangis di atas sepotong sajadah. Membuat basah ujung-ujung mukena. Berharap Tuhan akhirnya berbaik hati memberikan jalan-keluar baginya.
Satu larik cahaya matahari pagi lainnya menimpa wajah Bunda.Membentuk garis di pipi Bunda.Perempuan itu berumur empat puluh enam tahun. Hampir setengah baya. Wajah yang andaikata semua penat ini tak ada,sungguh masih terlihat cantik. Melati saja begitu menggemaskan, jadi dari mana pula semua gen baik Melati itu berasal? Pasti dari ibunya, kan?
Sayang sejak tiga tahun terakhir, sisa-sisa kecantikan masa muda Bunda terhapus oleh getirnya kenyataan. Rambutnya memutih. Satu-dua malah lebih cepat tereliminasi oleh kurangnya kiriman SMS, eh, perawatan ding.Alias rontok. Sedikit beruntung kemarin Salamah, pengurus keperluan rumah, membelikan semir rambut. Jadi, pagi ini Bunda "terlihat" lebih muda sepuluh tahun.
Hanya saja, tidak ada "semir" untuk ekspresi muka, kerut wajah, atau pudarnya cahaya tatapan mata. Bunda memang selalu terlihat lembut dan menyenangkan dengan wajah yang senantiasa menjanjikan perasaan damai dan tenteram. Wajah keibuan yang memberikan perlindungan, tapi tetap tidak bisa disembunyikan gurat harapan yang dari hari ke hari semakin menipis. Harapan yang mulai dibujuk untuk menerima kenyataan, mengalah atas takdir.
"Bunda, mikir apa?" Melati menyeringai. Memutus lamunan.
Bunda mengusap matanya.Melipat dahi. Seperti baru menyadari sesuatu. Hei! Apa tidak salah lihat? Apa semua pemandangan ini sungguh nyata? Melati sekarang merangkak di depannya. Nyengir lebar memamerkan gigi kelincinya. Bukankah pemandangan ini ganjil sekali?
"Bunda, kok,melamun? Bunda masih sakit, ya?" Melati bertanya sekali lagi, dengan intonasi suara dengan ekspresi wajah sok-serius.
Bunda gagap mengangguk, menelan ludah, masih amat terkejut melihat Melati yang tersenyum dengan wajah mendekat.
"Aih, dahi bunda panas banget-" Tangan Melati menyentuh.
Ya, sudah dua hari ini tubuhnya tidak nyaman. Sebenarnya Bunda tahu persis semua baik-baik saja, tapi perasaan yang semakin sesak, apalagi sejak kejadian dua hari lalu membuat fisiknya ikutan tidak nyaman. Sedikit demam. Sedikit flu. Sedikit pusing. Entahlah apa nama penyakit itu. Semuanya sedikit-sedikit. Kalau banyak demam, jelas itu pertanda demam. Atau banyak batuk, jelas itu penyakit batuk. Kalau sedikit-sedikit, Bunda tidak tahu.
Seharusnya selepas shubuh tadi ia sudah melakukan banyak hal. Membantu menyiapkan pakaian kerja suaminya. Memastikan Melati di kamarnya. Memastikan sarapan tersedia. Memastikan ini-itu. Memang semuanya bisa dibilang hanya "memastikan" pernak-pernik pekerjaan rumah tangga sesungguhnya sudah diselesaikan oleh sembilan pembantu. Tapi Bunda tipikal ibu rumah tangga yang baik,selalu menyibukkan diri. Tidak hanya tidur-tiduran.
Sayang, selepas shalat shubuh, tubuhnya terasa lemas sekali. Lantas memutuskan beranjak lemah naik ke atas ranjang,berharap bisa kembali tertidur.Berharap setelah tertidur sebentar fisiknya bisa membaik. Tapi sekarang ia malah kesiangan. Mungkin suaminya enggan membangunkan,tidak tega melihat wajah lelahnya. Sepagi ini suaminya pasti sudah pergi ke pabrik. Itu berarti hari ini tidak ada ritual kecupan mesra di kening, berpamitan.
Bunda menghela napas, berusaha duduk bersandarkan bantal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moga Bunda Di Sayang Allah
RandomAssalamu'alaikum teman-teman,kali ini saya akan menulis buku karangan Tere Liye ini yang berjudul Moga Bunda Di Sayang Allah.