Bulan Juli, tiga tahun yang lalu, saat hendak pulang ke rumah nenek, Heeyoung menemukan Jimin di dalam gua yang terletak berdekatan dengan pesisir pantai. Laki-laki itu terluka banyak dan terjebak di balik bebatuan tanpa menggunakan sehelai benangpun pada tubuhnya. Waktu itu, Heeyoung masih terlalu kecil dan naif, dia bahkan menangis serta memanggil-manggil ibunya usai melihat penampakan Jimin.
Ibu memutuskan untuk mengantarkan Heeyoung ke rumah nenek dan ibu sendiri membawa Jimin pulang ke rumah mereka yang ada didekat ladang dan turunan bukit Daegook dengan sepeda tuanya pada saat itu.
Heeyoung melihat Jimin terlelap di sofa beberapa hari usai kembali dari rumah nenek. Gadis itu bahkan mengingat semuanya. Semua yang terjadi pada satu hari itu. Bagaimana dia dan Jimin saling mengenal serta bagaimana ibu memperlakukannya seperti putra kesayangannya sendiri. Ibu mengobati luka Jimin dan memberikannya sepiring ikan salmon—yang Heeyoung sendiri bahkan tidak pernah menelan ujung ekornya saja. Sementara kini, dihadapannya tersaji pemandangan mengerikan; bagaimana Jimin begitu menikmati makan siangnya sedangkan Heeyoung harus bersusah payah menelan kentang dan sayuran rebus.
Mungkin waktu itu hanya kalimat 'ini tidak adil' yang terus berputar-putar didalam kepalanya. Tapi setelah satu hari itu nyaris berlalu dan Heeyoung —dengan jantung yang berdetak begitu hebat seperti nyaris jatuh ke dasar perutnya menemukan Jimin dalam wujud siren di danau belakang rumahnya. Dan ibu pun disana. Dia berusaha menenangkan Jimin yang terlihat begitu kesakitan, atau, tidak. Jimin malam itu (dalam wujud siren) tidak sedang kesakitan, begitulah cara kerjanya ketika didalam air. Agresif. Dia membunuh, atau dia yang dibunuh. Dia bertarung didalam air, dengan apapun dan dengan siapapun. Tapi juga bisa menjadi tenang karena beberapa alasan. Heeyoung baru memahami semua hal gila ini setelah bertahun-tahun berlalu. Ibu menjelaskan semuanya. Semua. Tanpa terkecuali. Termasuk dia, yang mengetahui identitas Jimin sejak pertama kali mereka bertemu.
Lantas kemarin, ibu barusaja meninggal karena sakit keras. Tidak ada yang ia tinggalkan selain ladang kering bodoh yang tidak berguna, Jimin, dan secarik kertas yang hanya berisi dua baris kalimat;
Berhentilah membenci Jimin.
Tolong jaga dia.Yeah, ibu bahkan tidak berbasa-basi dulu saat menuliskannya. Dia juga sama sekali tidak menuliskan kalimat perpisahan untuk putri satu-satunya. Benar-benar bagus.
Dan, baiklah, sekarang hanya tinggal Heeyoung dan Jimin. Heeyoung—bagaimanapun caranya harus mampu merawat Jimin sendirian. Kendati dia masih begitu membenci Jimin sampai sekarang, dia tidak bisa membiarkan kebencian itu berlarut-larut menguasai tubuhnya. Heeyoung harus melaksanakan wasiat terakhir ibunya dengan baik.
"Jimin." Heeyoung menyahut dari balik meja makan. Butuh beberapa detik bagi Jimin untuk mengalihkan seluruh atensinya dari sebuah buku dongeng ditangannya pada Heeyoung. "Kau lapar?"
Setelah menjatuhkan buku dongengnya, Jimin mendekat. Dia mengangguk dengan semangat lalu berkata, "Iya." Dengan suara pelan.
"Sungguh, aku tidak punya apa-apa selain ini," diletakannya sebuah roti selai diatas piring. "Aku tidak tau. Tapi, kemungkinan, apa kau bisa makan ini?"
Jimin membolak-balik rotinya sebentar. Kemudian menelannya dengan enggan. Dia hanya menggigit ujungnya dan meletakannya lagi diatas piring. Wajahnya seperti akan muntah saat berkata, "Tidak suka. Tidak enak."
***
Daegook kacau balau.
Setelah legenda bodoh tentang siren bergema ke seluruh penjuru, Daegook mendadak diselimuti kegelapan dan angin dingin yang berasal dari lautan. Tidak ada ketenangan dalam hidup Heeyoung setelah ibunya tiada. Bahkan orang-orang mulai mencurigai keberadaan Jimin (salah satu tetangganya menemukan sirip ikan berwarna biru sapphire yang bercahaya ketika sedang mengambil air di danau kemarin malam).
"Kau menyembunyikan sesuatu di rumahmu, bukan?"
Meskipun Heeyoung berusaha menjelaskan, mereka tetap masuk. Nyaris mengobrak-abrik isi rumah Heeyoung jika teriakan dari luar tidak terdengar mengejutkan sekaligus memekakkan. Itu suara Hoseok, Heeyoung yakin betul. Suara cemprengnya yang berteriak, "Petir aneh tiba-tiba menyerang." Itu benar-benar menunjukan diri Hoseok.
Well, petir benar-benar menyabet seluruh permukaan tanah Daegook. Secara brutal. Orang-orang berhamburan dan Jimin hilang entah kemana sejak tadi subuh. Heeyoung mulai mengkhawatirkan laki-laki itu dan berlari dengan kelabakan tanpa menutup pintu menuju laut—yang justru dihadapkan pada sebuah pemandangan dimana Jimin (dengan wujud sirennya) tengah bersimpuh di dekat seorang gadis yang tertusuk tombak di perutnya. Heeyoung mengenal gadis itu sebagai Ahreum.
"Apa yang kau lakukan?" Suara Heeyoung teredam gemuruh petir dan suara ombak yang menabrak karang. "Jimin…"
Tidak. Bahkan sebelum Jimin sempat menjawab, sebuah suara lain berteriak panik dari balik punggung Heeyoung, "Dia! Siren itu yang menyebabkan kekacauan ini dan melempar Ahreum dari tengah laut hingga tertusuk tombak. Dia!"
Heeyoung sempat tidak mempercayai pendengarannya. Sedangkan Jimin pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata dari celah bibirnya. Hanya suaranya yang terus terngiang-ngiang di telinga Heeyoung; percayalah padaku dan mari kita tulis kembali bintang, Jung Heeyoung.
Sayangnya, aku tidak mampu mempercayaimu. Dan Heeyoung dengan sangat terpaksa berusaha membantu warga untuk menjebak Jimin. Ya, mereka berhasil. Jimin tertangkap setelah Heeyoung berusaha menceburkan diri ke dasar laut dan yang lain berusaha membuat Jimin tidak sadar dengan bubuk racun. Sementara itu, suara tangisan Jimin seolah-olah merembes masuk ke lubang telinganya. Perlahan-lahan membuat kepalanya pusing dan jatuh pingsan sebelum yang lain sempat mengangkat tubuhnya ke permukaan.
***
"Siren itu tidak pernah menyakiti Ahreum. Dia menyelamatkan Ahreum dari sambaran petir dan tidak sengaja mendaratkannya pada sebuah tombak yang ada di pesisir pantai." Suara itu tenggelam. "Percayalah pada Jimin." Lantas benar-benar hilang ketika Heeyoung bangun.
Mendapatkan seluruh kesadarannya, Heeyoung berusaha kembali ke laut. Suara tangisan Jimin terdengar semakin jelas, bersahut-sahutan dengan suara asing didalam mimpinya. "Maafkan aku. Aku tidak tau mana yang benar tapi aku lupa bahwa aku harus selalu mempercayaimu." Airmatanya meleleh saat tubuhnya setengah tercebur kedalam laut. Petir semakin mengacaukan Daegook sementara Jimin nyaris mati di dasar sana.
Legenda itu salah.
Heeyoung melepaskan jeratannya dan berusaha membantu Jimin berenang naik. Walaupun sulit, mereka berdua tetap berusaha untuk sampai ke permukaan. Lewat pikirannya, Heeyoung berkali-kali berujar, "Kau hanya harus melompat cukup tinggi ke permukaan, Jim."
Lantas Jimin melakukan intruksi Heeyoung. Berusaha menangkap seluruh petir dengan siripnya meskipun sedikit kesulitan. Jimin berhasil. Ya, petirnya mereda. Bahkan perlahan memudarkan awan hitam di langit Daegook. Tapi, dia kehilangan Heeyoung. Tanpa sadar, barusaja menenggelamkan Heeyoung yang berusaha berenang membimbingnya menangkap petir-petir tersebut.
"Heeyoung." Jimin merintihkan nama itu. Selalu.
Sampai sekarang.
Kata kunci; belum ditemukan. []
—Ditulis dalam 1000 kata.
A.n: kak, aku benar-benar sulit mengutarakan sesuatu secara singkat dan terbatas, jadi aku benar-benar berusaha menulisnya supaya tidak melampaui batas syarat. Maaf kalau ada kekurangannya. Ehe. Hope you like it.
Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite the Star.
FanfictionLegenda bodoh tentang dirimu yang bisa kapan saja membawa derita ke atas tanah Daegook membuatku harus berfikir dua kali untuk mempercayaimu, menggenggam tanganku, dan berjalan beriringan denganmu. Takdir kita tidak sama, Park Jimin. Jadi kau perlu...