“Kenapa kau tidak menyerah saja?” Lisan Calla dengan entengnya mengatakan kalimat yang mengendurkan kolor di celanaku. Ia memutar jarinya di pinggiran gelas bening yang berisi minuman ungu beraroma alkohol. Calla membawa diam-diam minuman penghangat tubuh—begitu ia menyebutnya—ke dalam kafe ini. Ingin kali kupanggil pelayan atau satpam untuk mengusir penganggu ini.
Ia mendekatkan wajahnya… menghalangi mataku menikmati layar laptop. Kuhela napas beberapa kali, lalu kututup layar laptop, ia tampak gembira, kembali ke posisi semulanya. Calla menuang minuman ungu itu ke gelasnya. “Bersulang!” ucapnya. Ia tengah merayakan sesuatu sendirian.
“Berhentilah mengangguku untuk saat ini,” cetusku.
Calla menaruh gelasnya di meja. “Di saat seperti ini, hanya aku yang dapat menghiburmu.”
“Keberadaanmu justru merusak ketenangan yang sukar kudapatkan beberapa hari terakhir.” Calla mengekeh setelah mendengar ucapanku.
Rambut semiran pirang kemerahan yang dikucir, sweater, dan celana hitam. Penampilan yang tidak umum bagi seorang perempuan seumurannya. Ia membetulkan kuciran rambutnya. “Itu karena pikiranmu selalu dipenuhi Azalea, lalu Azalea, kemudian Azalea.” Calla selesai menata rambutnya sembari berceloteh, “Coba sebentar saja dirimu memikiran Calla, lalu Calla, dan Calla.”
“Hanya kesengsaraan yang kudapat nantinya.” Kuaduk krimer yang membubung di secangkir vanilla latte milikku.
“Itu karena dirimu tidak pernah sekalipun menanggapiku dengan benar.”
Pernyataannya sungguh benar. “Tentang apa?” Aku sungguh naif. Diriku kapanpun siap dinobatkan sebagai manusia ternaif di dunia. Penghargaan yang setara dengan nobel untuk para ilmuwan inovatif.
“Baiklah.” Calla menggeser kursinya. Kini ia bersebelahan denganku. Kulit kami saling bersentuhan secara tidak langsung. Ia menjetikkan jarinya di depan wajahku, lalu berbisik, “Kenapa kau tidak menyerah saja?”
Perempuan ini menanyakan pertanyaan yang sama. Yang dimaksud ‘menyerah’ olehnya bukan menyerah atas mimpi, angan-angan, cita-cita, atau harapan tentang hal bagus di masa depan. Aku tidak sedang putus asa. Pendidikanku berjalan mulus, dan tinggal menghitung minggu gelar sarjana siap dikalungkan di leherku.
“Azalea?” tanyaku.
Calla memangutkan kepalanya. “Setelah kau menyerah, Si Calla ini siap menampung keputusasaanmu.”
Manusia yang tahu caranya menghibur orang lain. Candaannya yang disampaikan dengan berat berhasil membuatku tertawa. Seperti biasa, pasca mendapat korban, Calla membisu kosong membiarkan korbannya tersiksa oleh gelak tawanya sendiri.
“Jiwa sosialmu sungguh tinggi sampai-sampai mendirikan panti penampungan.”
“Lagi,” gumam Calla. Ia mengembalikan kursinya pada posisi semula; kami kembali saling berhadapan. Orang lain pasti berasumsi jika kami merupakan sepasang kekasih yang tengah menikmati riuh nan sepinya malam hari. “Percuma memaksamu.”
“Kurasa kau sungguh mengetahui hal itu.” Vanilla latte memiliki rasa pahit dan manis yang lembut. Tekstur krimernya bakal memijat lembut lidah dan mulutmu. Sensasi hangat sedikit panasnya cocok untuk mencairkan kebekuan di kepala. Sidang skripsi yang bakal diadakan tiga minggu lagi, kemudian ditambah masalah … Azalea.
Calla ngotot sekali memaksa diriku bercerita banyak tentangnya. Mungkin lebih tepatnya ia menginginkan aku meminta tolong padanya. Ia mengidamkan peran pahlawan penyelamat.
Jadi, kukira tidak ada salahnya kuceritakan sedikit padanya.
“Amnesia Retrogade,” ucapku.
Ia berhenti mengocok botol kosongnya. “Benarkah?” Calla memanggil pelayan; mengangkat tangan kanannya sembari menjetikkan jari. Kelakukan calon bos besar yang memperbudak asisten pribadinya. Kuharap nanti aku tidak satu perusahaan dengannya. “Aku tahu sedikit tentang itu,” tambahnya, setelah memesan minuman yang terdengar asing di telingaku.
“Itu murni kesalahanku.”
“Tidak, bung.” Itu kata-kata yang ingin kudengar dari orang lain. “Kalian berdua beruntung dapat selamat dari kecelakaan bus itu.”
“Tuhan hanya mengizinkan satu setengah nyawa untuk tetap hidup.” Kosong? Obrolan yang berjalan serius membuatku tanpa sadar terus menyeruput minumanku. “Satu nyawa itu aku, setengahnya… Azalea.”
Calla melirik perban di lengan kananku. Ia menyentuhnya sembari berkata, “Sakit?”
“Tidak, batinku mengalami nyeri yang lebih hebat dari itu.”
“Tetapi, hebat juga kau sekadar mengalami luka kecil seperti itu.”
“Tadi sudah kukatakan, ini murni kesalahanku. Azalea melindungiku dengan tubuhnya saat bus yang kami kendarai berguling-guling masuk ke dalam jurang. Aku terus memejamkan mata. Saat sadar, tubuhku menindihi Azalea. Ia kujadikan matras hidup tanpa sengaja. Kepalanya dibanjiri darah saat itu.”
Lintangan senyum tergores di wajahnya saat dirinya menenggak minuman bening yang baru diantar oleh pelayan. Ia berhasil memancingku untuk bercerita banyak. Ini kesekian kalinya aku menceritakan kronologi kecelakaan itu pada orang lain. Polisi, dokter, wartawan, orang tuaku sendiri, dan juga Azalea. Media menjulukiku sebagai ‘manusia bernyawa sembilan’. Dan kebetulan juga, terdapat tiga belas orang di dalam bus itu termasuk sopir, kami berdua, dan penumpang lainnya. Ada juga yang beramsumsi kalau nyawa penumpang lain ditumbalkan agar kami tetap hidup.
Berita dari tragedi memang selalu menarik dikuliti untuk menarik pundi-pundi uang yang berlimpah.
“Aku sungguh beruntung tim penyelamat datang dalam waktu sekitar lima menit,” tambahku. Hari itu memang keberuntunganku sedang berada di puncaknya. Akibatnya, hingga sekarang kesialan terus menghampriku. Tragedi yang berbuntut pada masalah-masalah.
“Berdoalah pada tuhanmu,” balas Calla. Oh, ia bermetamorfosis menjadi perempuan suci yang akrab dengan ajarab agama. Calla mengemasi barang-barangnya, lalu meninggalkan beberapa lembar uang di meja. “Minumanmu sudah kubayar.”
“Kebiasaan buruk yang tidak pernah berubah,” ucapku.
Ia beranjak dari kursinya sembari berkata, “Setelah puas, aku pergi. Kisahmu ini cocok dijadikan referensi untuk novelku selanjutnya.”
“Kejam sekali dirimu.” Tapi, tak apa juga, ia sudah membayar minumanku.
“Tapi, aku turut bersimpati. Kalau kau membutuhkan bantuan, hubungi saja aku… masalahmu dapat kujadikan referensi untuk sekian kalinya. Semakian bervariasai masalahmu, data untuk ceritaku menjadi beragam.” Ia pergi menyisakan gelak tawa.
Apa yang kubilang? Setiap tragedi menarik dikuliti untuk meraup pundi-pundi uang. Tapi, aku tidak berbohong dengan cerita tadi. Aku benar-benar mengalami kecelakaan bus, Azalea pula, perban di lenganku ini asli, terdapat luka di baliknya. Ini bukan karangan fiktif yang dilebih-lebihkan guna menaikkan minat baca.
Azalea itu nyata.
Hanya saja saat ini, Azalea tidak nyata. Azalea yang hidup di realita tengah disekap oleh Azalea yang berasal dari dunia fiksi. Azalea dari dunia fiksi masih polos dan suci. Cawannya belum terpenuhi oleh air-air duniawi. Terdapat dua pilihan untuk mengembalikan Azalea; mengembalikan cawan lamanya, atau mengisi cawan polosnya dengan air lamanya. Membingungkan, bukan?
Dokter mengatakan padaku jika ingatan lama dapat kembali karena momen-momen tertentu yang akrab. Loker-loker lama yang bersembunyi akan muncul dengan sendirinya setelah dipanggil oleh momen itu.
Kumasukkan laptop dan buku-buku ke dalam tasku. Malam yang murah… tagihanku dibayar tunai oleh penulis novel yang naik daun itu. Aku tidak pernah tahu bagaiamana jalan pikiran seorang Calla. Yang terpenting, kuperingatkan padamu, berhati-hatilah padanya! Ia pandai menarik lawan jenis, lalu menyiksanya. Siksaan di sini sangat tidak berkaitan dengan fisik. Jadi, jangan memikirkan keambiguan yang aneh tentangnya.
Kunyalakan mesin motorku, lalu menarik gasnya… perlahan, entah pasti atau tidak, aku terus berusaha membuka loker-loker yang ada di dalam ingatan Azalea. Untuk malam ini, kusiapkan rangkaian bunga mawar merah dan putih. Azalea sangat menyukai mawar merah dan putih, ia kagum pada kombinasi warnanya yang mirip dengan tubuh manusia.
Aku memarkir motorku di depan pagar rumah berwarna hitam. Kupencet tombol ‘bel’ yang menempel pada dinding di sebelah pagar. Pada pencetan pertama, langsung terdengar suara pintu terbuka, dan derap langkah yang antusias.
“Malam, tante,” sapaku. “Maaf berkunjung malam-malam begini berkali-kali.”
Seorang wanita membukakan pintu pagar. Ia memaksa keras otot wajahnya untuk melukis senyuman. Kekakuan yang timbul akibat ketidakalamiannya membuatku bingung harus melukis apa di kanvasku. “Azalea ada di dalam kamarnya. Ia sempat keluar untuk makan malam tadi. Perlahan, ia membiasakan diri untuk bergabung dengan kami.” Ia tampak senang. Berarti, aku salah kaprah dalam berasumsi.
Kubawa masuk motorku, lalu memarkirnya di depan teras rumah. Ibu Azalea berjalan di belakangku. “Kali ini mawar merah dan putih?” tanyanya.
“Iya.”
“Kamu sungguh berusaha keras, nak.”
Entah seberapa ‘keras’ yang kulakukan, cawan lamanya tidak kunjung kembali. Cawan barunya tetap bersikukuh mempertahankan kedudukannya.
“Hanya ini yang dapat saya lakukan.”
Ibu Azalea memangutkan kepalanya berualang kali dengan mantap. Ia mengizinkanku untuk masuk ke dalam kamar putrinya. Tidak ada maksud buruk yang berselimut di dalam kepalaku. Semuanya murni dan suci. Akan kujaga kesucian Azalea dengan tanganku sendiri. Takkan kubiarkan setan di diriku menguasai dan mengambil alih.
“Azalea.” Kuketuk pintu kamarnya tiga kali, lalu memutar kenopnya. “Kudengar kamu sudah makan malam bersama keluargamu.” Oh, ia tengah tertidur. Ia menyelimuti tubuhnya, dan menyisakan wajahnya. Rambutnya dibiarkan terurai tanpa dikucir. Kutaruh rangkaian bunga mawar di sampingnya.
Putri salju yang menanti pangerannya.Tujuh kurcaci menangisi kematiannya akibat apel beracun dari penyihir tua. Di sini, peranku entah sebagai pangeran, ketujuh kurcaci, ataupun penyihir
Azalea membuka kelopak matanya. Suara pikiranku terlalu keras hingga menganggu tidurnya. “Kamu lagi.”
Kalimat pertama yang selalu sama saat aku menemuinya. Kamu lagi… kamu lagi… kamu lagi…
Setelahnya, aku bertanya, “Kamu bosan?”
“Tidak… tidak ada satupun rasa yang kurasakan ataupun dapat kugambarkan,” balas Azalea.
Sebelumnya, telah kuceritakan siapa diriku, bagaimana hubungan kami… responnya sekadar mengangguk, namun kuyakin ia tidak mengerti satupun. Semua informasi yang dianggap barunya olehnya kuinjeksikan secara perlahan.
“Kalau begitu, selamat tidur.” Dan kuharap kamu cepat kembali.
“Tunggu.” Azalea bangkit dari tidurnya. Ia duduk dalam posisi bersimpuh di atas kasur. “Kamu akan kembali lagi?”
“Tentu.”
“Aku ingin kamu tidak menemuiku lagi.”
Mataku terbelalak. Aku sedikit membuang muka, lalu kuberanikan diri untuk menatapnya lagi. “Kenapa? Kamu tidak menyukai kehadiranku?”
“Bukan begitu. Waktumu akan habis jika terus bertemu perempuan sepertiku.”
Alasan yang rasional, tetapi asumsinya terlalu berlebihan. Ia menjatuhkan dirinya sendiri dalam jurang kesalahan yang tidak dibuat olehnya. Perkenankan diriku sebagai karakter yang menjulurkan tali untukmu, lalu mengangkat tubuhmu ke tepi jurang. Saat momen itu tiba, kamu dapat memilih jatuh ke dalam jurang kembali, atau melangkah ke realita.
Aku keluar dari kamar Azalea, lalu menutup pintunya. Azalea pasti kebingungan dengan respon yang kuberikan. Setidaknya, seperti ini sudah cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
PIECE
Teen FictionMengumpulkan kepingan-kepingan, lalu merangkainya seperti puzzle yang sengaja dibuat acak. Bedanya, puzzle ini tidak memiliki wadah maupun bentuk konstan. Waktu kerap merubahnya tanpa izin dari Iris. Alhasil, Iris kepayahan saat mencoba menyusunnya...