Prequel

440 82 15
                                    

Aku memandang keluar jendela. Menatap gedung-gedung pencakar langit yang silih berganti satu dengan lainnya. Sesekali bernyanyi selaras dengan tangga lagu Julia Michaels yang mengalun di dalam mobil yang hanya kami tumpangi berdua, aku dan Mark - kekasihku.

Tangan kami saling tertaut. Menggenggam berbagi kehangatan meski angin musim dingin tidak dengan lancang masuk dan membekukan kami. Pun penghangat dalam mobil sudah dinyalakan. Akan tetapi rasa hangat dan nyaman dari tiap usapan yang ibu jari kami bagi ke tangan lainnya terasa begitu menenangkan.

Kali ini Mark mengajakku ke rumahnya untuk pertama kali. Menemaninya menemui sang ayah dan mengambil sebuah berkas sebelum kami akan melanjutkan hari dengan berkencan. Membuatku sedikit tak yakin dan takut menyelimuti karena ini pertama kalinya ia mengajakku ke tempat dengan kenangan masa kecilnya, meskipun sudah lima tahun kami bersama.

Sampai akhirnya kami berhenti. Sabuk pengamanku ku lepas dan keluar. Memandang sebuah rumah megah yang tak pernah ku bayangkan bahwa aku akan masuk ke dalamnya selama seperempat abad hidupku.

Mark memandangku yang hanya terdiam, membuatku diseret akan kesadaran dan berlari kecil mengekorinya.

"Aku akan cepat." Katanya ketika kami masuk. Menyuruhku untuk menunggu di sofa ruang tamu yang terlihat begitu mewah dan lembut. Memandang sekitar, menjelajahi ruangan minimalis nan modern dengan dominan coklat kayu, tampak sederhana, namun tetap memiliki aura mewah yang terpancar.

Ruangan ini megah, namun kala kepalaku memutar ingatan akan sebuah rumah yang sudah ditinggali bertahun-tahun, rumah ini begitu terasa kosong bagiku. Aku membandingkannya dengan kediamanku, setidaknya meskipun rumahku hanya sebuah gubuk kecil di pinggiran, ibuku memasang setidaknya empat foto kenangan keluarga kecil kami, atau mungkin lebih. Sedangkan di ruangan ini, aku bahkan tak menemukan apapun kecuali sebuah pot kecil berisi bunga yang kini berdiri anggun di tengah-tengah meja serta sebuah akuarium yang dengan gagahnya bersemayam di ujung ruangan.

Aku hampir saja bersenandung untuk mengurangi rasa kaku yang mendera, sebelum suara hak sepatu mendekat dari lorong ruangan dalam. Menampilkan sosok wanita dengan kulit kencang meski usianya tak lagi terlihat begitu muda, yang sangsiku menganggap dia ibu Mark.

"Teman Mark?" tanyanya yang aku angguki setelah berdiri dengan tergesa.

Wanita itu lalu tersenyum kecil sembari menyuruhku duduk kembali. Ia mengambil posisi tepat di seberangku. Menyilangkan kaki yang terbalut gaun selutut dengan anggun.

"Jarang sekali Mark mengajak orang lain bersamanya ketika ia pulang." Meski sekejap, ada kilatan sedih di matanya. Lagipula Mark memang bercerita ia jarang pulang kemari.

"Ah, sebelumnya boleh ku tahu siapa namamu?"

Beliau tersenyum. Sedikit banyak mengingatkanku akan senyum lelah yang Mark tunjukkan ketika ia memelukku di akhir pekan saat kita bertemu satu sama lain atau kawan-kawanku tunjukan ketika lembur mendera. Sebuah senyum lelah akan dunia kejam yang menanti.

"Lee Donghyuck." Jawabku sopan.

Ibu Mark tersenyum, kemudian menanyakan beberapa pertanyaan seputar hubunganku dengan puteranya. Seberapa lama kami saling mengenal, dimana aku tinggal, lalu bagaimana kami bertemu satu sama lain, membuatku bernostalgia akan hubungan kami.

Namun aku tak bodoh, setelah aku berkata bahwa aku hanya seorang wanita biasa dari sebuah kota tanpa gemerlap lampu kala malam menjelang dan hanya seorang perantau yang mengais lembaran uang demi hidup di kota besar seperti Seoul serta keberuntung untuk mengenal Mark karena kami memiliki ketertarikan yang sama akan karya fiksi, membuat senyum yang tadinya mampir meski enggan, menjadi benar-benar menghilang.

Cliche [MARKHYUCK]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang