I. Detik-detik Kehancuran...

10 0 0
                                    

09:55 Pagi, Bundaran Hotel Indiana Jakarta

" HEI PAK...!"

"APA YANG ANDA LAKUKAN DI SITU...!". Suara itu lantang memecah angkasa.

Tiba-tiba alarm jam tangan berbunyi. Ia sadar, itu bunyi alarm yang kedua. "7 menit lagi".

Amin membuka matanya. Matanya berkaca-kaca. Sesekali Ia menarik nafas panjang. Dadanya masih terasa sesak. Perlahan, Ia merogoh saku depan celananya, mencari sehelai saputangan. Saputangan kesayangan milik Nadia. Dengan lembut, saputangan itu diciuminya. Terbayang wajah Nadia dipelupuk matanya, wajah imut menggemaskan.

"Pak, Anda tuli ya...!". Untuk kesekian kalinya suara itu terdengar lagi. "Sedang apa disitu...?!!", teriak pria berseragam dengan wajah kesal.

Amin tetap mematung, tidak bergeming. Dengan tatapan lembut, dipandangnya lelaki yang berdiri dihadapannya. Namun dihiraukan. Matanya menyapu ke sekeliling, mengamati keadaan sekitar. Ia kaget....

"Astaghfirullah...!! Kenapa ramai sekali disini..".

Amin langsung tersadar, selama matanya terpejam, telinganya mati tak berfungsi. Hiruk pikuk lalu lintas di Bundaran HI, seakan menjelma menjadi orkestra musik klasik, membuatnya asyik dalam lamunan indah bersama Nadia, anak semata wayangnya.

Jakarta Raya. Kota dengan seribu wajah. Kadang menampakkan wajah malaikat, kadang pula mirip wajah Iblis. Bagi manusia bermental baja, Jakarta adalah kota dengan penuh harapan. Bagi yang mempunyai mental tipis, Jakarta adalah ujian, yang harus dilalui dengan berdarah-darah. Setiap manusia yang tinggal didalamnya, mempunyai perspektif sendiri-sendiri tanpa ada kesamaan satu pun.

Kira-kira sejauh 50 meter dari sisi kiri tempatnya berdiri, Amin melihat sosok lelaki paruh baya berdiri disamping mobil mewah keluaran terbaru. Lelaki itu sibuk memaki meluapkan emosi. Wajahnya merah padam dengan mata nanar penuh amarah. Urat lehernya terlihat jelas. Berdiri disampingnya, seorang seorang supir yang masih muda, sederhana dengan wajah penuh kebingungan. Tak jauh dibelakang mereka, berdiri seorang wanita muda. Dengan tatapan mata yang kosong, wanita itu berdiri mematung.

"Woi...! Majuuuuu....!", kembali lelaki paruh baya itu memaki.

"Goblok..!!"

"Kenapa berhenti disitu...!"

"Macet nihhhhh...!!!

Matanya masih mengamati keadaan sekitar. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di depan, sekitar 10 meter dari tempatnya berdiri. Ia melihat mobil SPV warna hitam. Ia merasa mengenali mobil itu. Ia berpikir keras, mencoba menggali memori otaknya, berusaha mengingat kapan dan dimana pernah melihat mobil hitam tersebut. DAN AKHIRNYA...

"Ituuuuukan mobil.....?!!". Samber geledek...Ia kaget setengah mati. Langsung saja, Ia merasa was-was. Wajahnya tegang. Jantungnya berdegup kencang, semakin lama semakin cepat...Seketika itu juga Ia lari sambil berteriak...

"PERRRGIIIIIIIII...!!!!!!". Suaranya keras bagai halilintar siang bolong.

"Pergi dari sini Pak...!! Saya mohon Pak...!".

Polisi itu kebingungan. Dahinya berkerut.

"Benar-benar aneh ini orang...?", pikir nya.

"Pak...Saya mohon Bapak harus segera pergi dari sini..", nada suaranya semakin serius.

"Sudah tidak ada waktu...Saya mohon Pak..".

"Ini demi keselamatan Bapak sendiri..."

"Keselamatan siapa..? Disini aman-aman saja kok...", balas polisi itu sewot.

Raut wajahnya terlihat kesal dan bingung. Amin kesal tapi juga takut, bingung harus berbuat apa. Yang dipikirkan hanya keselamatan orang-orang di sekitar.

Tiba-tiba Amin berlari meninggalkan polisi yg masih keheranan dengan tingkahnya. Ke arah lelaki paruh baya yang masih terus memaki. Melihat Amin berlari, Polisi itu pun ikut mengejar.

"Pak...! Hei Pak...!"

"Tolong dengarkan saya...tolong berhenti memaki..!", teriak Amin ke lelaki paruh baya didepannya.

"Kenapa emangnya...? gara-gara mobil bego itu, jadi macet total nih...!! Dan gara-garanya saya telat masuk kerja...!"

"Maaf Pak, Bapak harus segera pergi dari sini...!".

"Kalian semuaaaaaaa harus cepat meninggalkan tempat ini...!!!", teriaknya lantang kepada semua orang yang ada disana. Nampak juga semua mata dibalik mobil-mobil yang ada disana memandang keheranan. Tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Bagaimana mau pergi, wong mobil saya stuck begini.."

"Maju kena mundur pun kena.."

"Baiknya, anda ngomong sama yang bawa Harier item itu...",

"BETUL, justru seharusnya anda yang harus pergi dari sini Pak, bukan Bapak ini...!", timpal Polisi secara tiba-tiba.

Situasi menjadi semakin panas. Deru jantung masing-masing orang yang ada disana terasa semakin cepat. Nafas mereka semakin memburu. Kekesalan...Kebingungan...Kekhawatiran...Ketakutan...Kemarahan...beradu jadi satu. Tak terasa, butiran-butiran keringat menetes dari wajah masing-masing.

"Disini area terlarang Pak...! Seharusnya Bapak yang tidak boleh masuk ke dalam kolam...!", ujar polisi itu dengan nada ninggi.

Amin semakin panik. Aliran darahnya semakin cepat mengalir. Keringatnya mengucur semakin deras. "Ini tidak boleh terjadi....Aku tidak ingin ada korban...."

"Pak...sudah tidak ada waktu...!!

"Cepatttt.... Kalian semua harus pergi dari sini...!"

"APAAA KALIANN SEMUA MAU MATIIIIII....!, teriak amin menggelegar. Suaranya keras membahana seantero bundaran Hotel Indiana.

Tidak ada jalan lain. Dengan sigap dan cepat, seketika saja lelaki itu membuka jaket panjangnya. Dan dibalik jaket panjang tersebut, terlilit bom C-4 diseluruh tubuhnya dengan detonator waktu tepat ditengahnya.

"Sayaaaaa membawaaaaaa BOOOOMMMMMM....!!!"

* * *

Amin, sang Teroris ?Where stories live. Discover now