II. Namanya AMIN...

3 0 0
                                    

Lelaki itu bernama Amin. Sosoknya tinggi kurus. Berat badannya sekitar 70 dan tingginya 175 cm. Usianya beranjak 35 tahun. Amin untuk ukuran kebanyakan, bisa dibilang cukup gagah. Tak heran semenjak masih sekolah, ia diminati banyak wanita. Cuma dasar Amin...semua pemujaan itu ditepisnya dengan halus. Amin tipikal orang yang apa adanya, tidak ikut-ikutan gaya zaman sekarang. Orangnya sangat sederhana dan membumi. Pakaian favoritnya adalah kemeja kotak-kotak. Ketiga Ia pergi selain bekerja, selalu memakai kemeja kotak-kotak. Dia hanya punya 2 kemeja dengan paduan warna coklat putih dan hitam coklat. Itu pun warnanya sudah mulai memudar. Bila dirumah, Amin hanya pakai kaos oblong putih dengan celana piyama batik. Tidak lebih dari itu.

Amin tidak gemar nonton televisi, karena memang dirumahnya tidak ada televisi. Selain memang tidak mampu membeli, Amin menganggap kebanyakan acara yang diputar di televisi lebih banyak mudharat nya, terutama untuk anak-anak. Dirumahnya cuma ada radio kecil, yang dibelinya untuk Nadia. Jika ditanya mengenai acara televisi, Amin cuma bisa menggeleng.."Gak tau...". Tapi bukan berarti Ia tidak mengikuti perkembangan berita, Ia selalu update dengan membaca koran, walaupun itu meminjam dari tetangganya atau temannya sesama kenek mobil sampah. Ia sering kali geram ketika membaca berita di koran, terutama berita internasional. Ia membaca berita-berita mengenai kedzaliman kaum zionis terhadap rakyat palestina. Hal itu membuatnya marah. Juga membuatnya menangis, seakan ikut merasakan derita rakyat palestina. Sering terbersit di hatinya, Ia ingin berbuat sesuatu, Ia ingin membantu saudaranya sesama muslim di palestina. Ia ingin sekali berjihad...

Wajahnya tirus dengan tulang pipi yang agak menonjol dan tanda menghitam di bagian dahi. Hidungnya sedikit mancung. Sorot matanya tajam jika memandang. Kulitnya sedikit kecoklatan tapi bersih bercahaya, terutama dibagian wajah. Kentara sekali wajah dan tubuh itu selalu dibasuh air wudhu dan sering bersujud dalam sholat. Amin memang seorang lelaki yang sholeh. Sholatnya tidak pernah tinggal. Puasa sunah adalah menu utamanya setiap hari. Tutur katanya lembut. Ia sangat menjaga lisannya. Tidak pernah ia melukai hati seseorang karena lisannya. Luka akibat tergores pisau tajam bisa disembuhkan, tapi luka akibat lisan sangatlah sulit disembuhkan.

Amin juga seorang yang sangat sabar. Seringkali ia menghadapi situasi-situasi yang mungkin bagi orang lain akan menimbulkan amarah atau merobek hati. Tapi bagi Amin, situasi itu dianggap sebagai kerikil hidup, yang harus dilewati dengan kesabaran. Amarah adalah miliknya setan. Amarah adalah saudaranya nafsu. Ia paham benar akan hal itu.

Amin hidup dalam kesederhanaan. Amin paling benci hal-hal yang bersifat hedonisme. Baginya Tuhan yang Ia sembah hanyalah satu, Allah SWT. Tidak seperti kebanyakan orang, yang memuja Tuhan lebih dari satu. Uang, jabatan dan wanita adalah Tuhan baru bagi mereka yang menganut famam hedonisme. Baginya, dunia adalah jembatan titian untuk menuju surga keabadian. Itulah kehidupan yang sesungguhnya. Yang dicarinya, dalam dunia fana ini adalah amalan yang baik sebagai bekal perhitungan nanti di hari akhir.

Sehari-hari Amin bekerja sebagai kenek mobil sampah di sekitar Taman Monas dengan pendapatan bulanan yang tidak menentu. Per hari Amin mendapatkan penghasilan sekitar Rp 20 ribu. Makanya, Amin selalu mengusahakan untuk selalu masuk kerja, agar memperoleh penghasilan tiap harinya. Amin biasanya bekerja selama 6 jam mulai dari jam 06:00 pagi hari sampai dengan jam 12:00 siang. Tapi kadang, jikalau ada suatu acara di taman monas, Amin sesekali masuk kerja dini hari, mulai jam 2 dini hari. Baginya, udara dingin malam hari bukan merupakan kendala untuk bekerja, yang terpenting adalah jaga kesehatan agar tidak jatuh sakit.

Selain sebagai kenek mobil sampah, Amin adalah seorang muadzin mesjid di daerah tempat tinggalnya. Suara adzannya mengumandang seantero Jl Sawaludin. Suaranya sangat merdu ketika melafalkan bait-bait adzan. Bagi siapa saja yang mendengar, dapat menggetarkan hati. Jika sedang di rumah, Amin tidak pernah absen untuk bertugas sebagai muadzin.

Dalam mengarungi kehidupan, Amin berprinsip, mencari penghasilan untuk menghidupi keluarga adalah ibadah. Ia bukanlah orang yang "ngoyo" mengejar harta. Ingat hukum cecak..? Cecak tidak punya sayap...Adapun nyamuk yang mempunyai sayap. Tapi cecak dapat makan nyamuk, cecak tidak takut mati kelaparan. Karena rejeki setiap mahluk, Allah yang mengatur. Yang terpenting adalah ikhtiar. Itulah yang ia lakukan untuk keluarganya, melakukan usaha yang maksimal dalam mencari rejeki halal. Keluarga adalah yang terpenting, terutama anak semata wayangnya, Nadia. Kadang, agar upah hariannya bisa utuh, Amin sering berpuasa sunnah. Tak heran badannya pun langsing. "Yang penting sehat...". Itulah jawabanya ketika diolok temannya perihal badannya yang ceking.

Tapi sangat disayangkan, prinsip hidup yang dianutnya, belakangan ini mendapat pertentangan dari istrinya, Lydia. Tapi Amin memaklumi gempuran tentangan dari istrinya itu. Wajar saja, di masa gadisnya, istrinya hidup dengan sangat enak, bahkan boleh dibilang lebih dari cukup. Dengan gaya anak zaman sekarang, pakai baju bermerk mulai dari rancangan Oscar sampai Vercase. Mempunyai prinsip, harus jadi yang pertama mencicipi mal-mal baru. Semata-mata hanya sekedar takut dicemooh "Gak Gaul" oleh kalangan teman sosialitanya. Tiba-tiba alergi jika diminta naik kendaraan umum. Senangnya naik mobil pribadi kelas wahid. Nonton film di Bioskop 21 ketika datang weekend adalah ritual wajib. Beda dengan Amin, seumur hidupnya tidak pernah mengecap nonton di bioskop, apalagi sekelas Bioskop 21. Paling banter layar tancep, itupun waktu sekolah dulu di kampung.

Perubahan Karakter istrinya itu ditanggapi Amin dengan kesabaran. Amin tidak pernah merasakan bosan untuk selalu mengingatkan istrinya, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Hidup aliran hedonisme tidak akan dibawa mati. Hedonisme akan musnah seiring lenyapnya jiwa ini dari raga. Tapi....nasehat itu tidak pernah diperdulikan istrinya, masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Pernah suatu kali mereka bertengkar,

"Ayahh...! aku capek miskin terusssss....!"

"aku enggak kuat hidup seperti iniiiii..."

"Cari duit dong yang banyak...!

"Emang bisa apa ya hidup cuma pake jujur sama sabar...!"

Apabila sudah seperti itu, saat istrinya mulai merajuk protes tentang hidup, Amin hanya terdiam. Tidak berkata sepatah kata pun. Batinnya menangis..

Ia merasa berdosa..

Ia merasa bersalah...

Ia merasa mendzalimi keluarganya dengan kemiskinan...

"Jadi suami kok LEMES...", kembali suara istrinya meracau.

"Apa gak kasian tuh sama Nadia...?!"

"Dia malu tuh punya ayah kerjanya cuma kenek mobil sampah...!"

"Banci banget kamu Yah...!" Sambil ngeloyor pergi meninggalkan Amin, lalu membanting keras pintu rumah.

Amin tertunduk lesu. Tiba-tiba datang rasa sedih menggerayangi hatinya. Air mata Amin mengembang. Dadanya mulai sesak menahan rasa sedih yang menyeruak keluar. Amin lalu bangkit dari kursi yang sebagian kulitnya sudah robek. Perlahan Ia melangkah ke kamarnya Nadia. Terlihat olehnya, bidadari kecil itu terlelap pulas. Wajah itu begitu damai....

Nampak diraut wajah Amin, tangis kesedihan yang dalam, yang tak kunjung padam. Amin pun duduk disamping Nadia, diatas kasur lapuk tanpa dipan, hanya beralaskan ubin dingin. Dipandangi wajah imut itu dalam-dalam. Dengan suara parau dan terbata...Dengan menahan rasa sedih di dadanya, Amin berkata pelan, bibirnya bergetar,

"Nadia....,Engkau adalah benteng pertahanan terakhir ay-aa-hh..."

"Tanpa mu Nak, ayah sudah pass-tti limbung jatuh tersungkur..."

"Ayah berjanji Nak....Ayah ak-an beruu-saha sekuattt te-nagaa Nak..."

"Untuuk Kamu...Untuuuk Keluarga kitaa..."

Tidak terasa, air matanya menetes....

* * *

Amin, sang Teroris ?Where stories live. Discover now