Mentari mulai menampakkan wajahnya, pancaran cahaya berkah dari Tuhan Yang Maha Esa seolah-olah tak henti-hentinya memancar, membangunkan manusia pribumi Indonesia dari kejamnya jajahan Si kulit putih negri kincir angin nan jauh disana. Udara begitu menusuk dinegri itu, ditambah dengan persimpangan sosial dan ketidakadanya keadilan bagi kaum wanita turut mengeruhkan suasana yang menusuk itu hingga tak ada tawa, yang ada hanya tangis dan duka belaka. Tersiksa dan teraniaya menyebabkan hanya ada sedikit rasa percaya akan adanya hari esok yang indah.
Indahnya suara kicau burung, hijaunya wajah bumi dan kayannya sumber daya alam Indonesia membuat mata penjajah semakin memerah padam dan berakhir menghitam, menunjukkan hasrat yang begitu besar untuk terus mengeksploitasi sumber daya Indonesia tanpa batas dan tanpa ampun. Rakyat nan bodoh yang tak mengerti sedikitpun ejaan bacaan dan goresan tulisan, hanya mampu berdoa akan ada hari esok yang indah. Dan semua doa dari setiap warga Negara Indonesia memunculkan sebuah perasaan mulia untuk segera membebaskan negri raksasa ini dari kekangan penjajahan Si kulit putih, cita-cita bangsa itu diawali dengan satu kata penuh makna yaitu Harapan.
Harapan itu dijunjung tinggi oleh setiap orang, entah itu seorang laki-laki atau seorang wanita. Namun sudah pada kodratnya bahwa wanita hanya mampu berharap dan yang mengambil tindakan adalah seorang laki-laki. Bak burung dalam sangkar, gadis itu hanya mampu berharap, mengharap belaskasihan dari lingkungan sekitarnya, dan berusaha yang terbaik. Cita-cita gadis itu untuk memerdekakan bangsanya akan selalu dikenang oleh siapa saja yang mengetahui usaha gadis malang itu dan apa saja yang telah ia lakukan untuk turut mengambil bagian dalam merealisasikan cita-cita bangsa untuk merdeka.
Gadis itu bernama Zahra, anak bungsu dari 2 bersaudara pasangan Sumarno dan Ariani. Sumarno adalah seorang patih didaerah Banten, Dia adalah keturunan darah biru dan merupakan seorang kakitangan belanda untuk menarik pajak bagi para petani dan pedagang didaerah Banten. Memang pada tahun 1900 diIndonesia dilaksanakan adanya politik terbuka, yang dimaksud dengan politik terbuka adalah bahwasannya kerajaan belanda hanya mengawasi pihak swasta yang ingin memeras sumber daya Indonesia. Hal itu sudah berlaku semenjak tahun 1870 dengan dikeluarkannya undang-undang agrarian dan undang-udang gula, dimana dalam kedua undang-undang itu menjelaskan bahwa semua tanah diIndonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda namun pihak swasta boleh menyewanya maksimal 75 tahun. Oleh karna system ini pulalah bangsa Belanda mencapai taraf kemakmuran yang teramat sangat tinggi sedangkan rakyat Indonesia semakin menderita dan semakin tersiksa.
Zahra adalah seorang gadis remaja yang memiliki cita-cita untuk memerdekakan bangsanya dari Si kulit putih alias Belanda. Gadis remaja itu tak begitu saja menginginkan cita-cita mulia itu, semua itu berawal ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana sahabat baiknya meninggal akibat kurang makan dan kurang gizi. Tak hanya itu, dia juga melihat berbagai macam penindasan dan kesengsaraan yang dialami oleh manusia pribumi dilingkungan sekitarnya. Ya, warga Indonesia diberi julukan oleh Si kulit putih dengan nama makhluk pribumi.
Memang pada masa kolonial Hindia-Belanda terdapat pengklasifikasiaan golongon social, dengan golongan pertama adalah golongan Eropa, golongan kedua adalah golongan Timur Asing, dan yang terakhir adalah golongan Bumi Putra atau makhluk pribumi Indonesia. Zahra merasa begitu marah dikarnakan bagaimana bisa penduduk asli Indonesia dianggap sebagai golongan terendah, golongan bawah dan golongan yang wajib memenuhi kewajibannya sedangkan haknya tak harus dipenuhi adanya. Zahra juga anak yang cerdas, kecerdasannya membuatnya dapat masuk dengan mudahnya di HBS (Hooger Burger School) yang merupakan sekolah lanjutan pertama untuk manusia pribumi dengan bahasa pengantar bahasa belanda.
Di HBS itulah seorang Zahra banyak membaca buku termasuk buku yang menceritakan tentang pejuang-pejuang wanita dari berbagai negri didunia untuk memerdekakan bangsanya dari kekangan penjajah. Hal itu menginspirasinya untuk berjuang memerdekakan bangsanya, dan dari buku-buku itu Zahra menyadari betapa pentingnya pendidikan untuk memerdekakan bangsanya. Setiap disekolah Zahra benar-benar mendapatkan diskriminasi dari pelajar yang ada disana, bagaimana tidak rata-rata pelajar disana adalah keturunan si kulit putih alias Belanda. Walau disana ia diperlakukan berbeda dari teman-teman sebayanya, namun Zahra tetap bersyukur karna setidaknya ia dapat mengeyam pendidikan diHBS. Memang pada saat itu hanyalah seorang warga keturunan priai atau keturunan pejabat pemerintah saja yang boleh bersekolah disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan Gadis Pribumi
Historical FictionBangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya