tidur siang

5 2 1
                                    

Burung camar yang menari-nari di atas awan terlihat sangat bebas tanpa beban, sama seperti seorang pemuda yang berbaring santai di atas kapal kecil menikmati tidur siang nya dengan iringan suara demburan ombak menambah suasana tidur menjadi lebih tentram.

" Woy pemalas bangun "

Suara berisik langkah kaki menggangu ketentraman tidur nya, tapi pemuda itu tidak menggubris nya mencoba untuk tetap menikmati suasana di hari yang cerah ini.

Cerah? Mungkin tadi iya, tapi pemuda itu tidak sadar kalau langit tidak lagi cerah, mentari sudah bersembunyi entah kemana?

Pemuda itu tetap memejamkan matanya tidak memperdulikan suara langkah kaki yang berlari-lari demburan ombak yg menjadi-jadi, angin kencang yang yang bertiup dan orang-orang yang meneriakkan badai sejak dari tadi.

Matanya terbuka seketika dan pikiran yang mencoba mencerna " badai ? " Pemuda itu masih santai di atas tempat dia berbaring dan mencoba memahami kata itu lebih dalam lagi.

Air menetes di pipi nya, bukan dari mata nya tapi dari langit yang sudah menjadi kelam.

Sontak dia bangkit dari baring nya, memang tidak beranjak dari tempat istirahat nya tadi, tapi skrang dengan posisi duduk dan mulut yang terbuka. Mungkin dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat atau jiwa nya yang belum kembali seutuh nya dari tidur siang nya.

" Cuman melihat-lihat saja pak " tegur seseorang pria dari belakang, pria paruh bayu dengan kumis yang tebal dan badan yang kekar serta bekas luka yang melintang di perut bawah kanan sampai ke dada kiri bagian atas menambah aksen ke garangan pria itu.

" Emm, ah iya kak " pemuda itu sempat tertegun sampai dia ingat kalau di depan nya itu ada lah Rudolf kakak ipar nya sendiri.

" Selamat bangun tidur tuan raja " sindir Abiel yang masih mengurus layar. Pemuda itu tidak menggubris dan lebih memilih melakukan pekerjaan nya untuk menarik jangkar.

" Artaaah " teriak Rudolf yang melihat si adik ipar nya itu jatuh dari kapal mereka.

" Abiel ambil alih kemudi ! " Teriak pria dari balik kemudi.

" Siap kapten " balas Abiel kepada pria tua yang memerintah nya.

Sang kapten mencari-cari tali tambang yang di simpan di dek kapal dan setelah menemukan nya kapten kembali menuju lokasi sebelum jatuh nya artah, bermaksud menyelamatkan artah untuk terjun kelaut dengan memegang seutas tali agar memudahkan kapten untuk kembali ke kapal nanti.

" Rudolf " belum selesai kapten mengikatkan salah satu ujung tali di tiang kapal, pugas sudah lebih dulu meloncat ke lautan yang sudah tidak bersahabat.

Sudah berapa lama semenjak Rudolf memilih untuk terjun ke lautan tapi lautan masih belum kunjung tenang langit pun masih sangat gelap dan mereka belum kunjung terlihat.

Abiel masih memegang erat kemudi kapal dengan dua tangan nya sambil mencoba tegar serta membiarkan air mata nya mengalir dari mata coklat nya, menggigit bibir bawah nya lah yang sekarang bisa Abiel lakukan agar Isak tangis nya tidak meluap, tidak lupa dengan doa ke pada sang pencipta berharap kedua rekan nya kembali dengan selamat.

Sang kapten masih tertegun memandangi lautan yang masih mengamuk, pandangan nya masih mencari-cari di balik tirai air hujan yang mengganggu penglihatan nya berharap Rudolf dan artah keluar dari salah satu ombak yang semakin menggila.

Kilat petir saling sahut-menyahut dan suara gemuruh nya pun silih berganti tapi kapten masih berdiri masih memegang erat tali, sesekali air membasahi pipi entah itu air hujan atau air mata keputus asaan orang tua terhadap anak dan mantu nya.

Setelah beberapa lama jenggot nya yang putih menyambung dengan kumis putih pula tidak bisa menyembunyikan senyum bahagia kapten apalagi ketika cahaya kilat meyala di wajah nya seperkian detik sangat terlihat jelas ekspresi bahagia nya, meski kapten tidak melihat ekspresi nya sendiri tapi di balik pandangan nya dia melihat 2 orang mengapung naik turun mengikuti irama ombak.

Kapten memerintahkan Abiel untuk mengambil pelampung dan mengikat kan salah satu ujung tali nya ke pelampung sebelum pelampung itu di lempar ke arah Rudolf dan artah.

" Kerja bagus nak " ucap kapten sambil menepuk pundak Rudolf, ucapan bangga dan bahagia dengan nada serak seperti orang yang telah menangisi kepergian orang yang dicintai.

" Kapten " teriak Abiel memecah suasana bahagia itu, kapten dan Rudolf melihat kearah Abiel memandang.

Tidak ada kata yang keluar dari mulut mereka berdua tapi ekspresi muka dan tatapan mata dari kedua nya sudah menggambarkan sesuatu yang besar akan terjadi.

" Kapten, kapten apa yang harus kita lakukan " suara Abiel kembali memecah suasana. Kapten berlari ke arah Abiel untuk berganti posisi. Sedangkan Rudolf masih tertegun melihat ombak tinggi di depan yang bisa saja menenggelamkan kapal mereka.

" Jangan-jangan ini-- " suara Rudolf hampir tak terdengar entah karna suara hujan dan gemuruh di tambah suara deburan ombak atau karna tenaga nya yang belum pulih atau malah rasa takut melihat ombak itu sudah semakin dekat.

" Ini persis seperti 11 tahun yang lalu " gumam Rudolf.

" Rudolf bawa Artah ke dalam dan kembali kesini secepat mungkin " teriak sang kapten atau mertua nya sendiri dengan suara lantang. " Capat atau kita tidak akan pernah pulang lagi " sambung kapten dengan suara yang seolah-olah menantang ombak tersebut.

Abiel cuman bisa meneguk ludah melihat ombak besar yang siap menghantam mereka kapan pun beradu dengan tatapan kapten nya yang terlihat mantap ke arah ombak seolah-olah sang kapten mengajak bergulat si ombak.

" Apa bapak yakin ? " Suara Rudolf yang ngos-ngosan terdengar jelas dari arah pintu ruangan kemudi.

" Ya " jawab kapten mantap " kita pernah mengalahkan ombak ini-- " tambah sang kapten. muka Rudolf terlihat tidak yakin dengan ucapan kapten nya itu. " Dan kita akan mengalahkan nya lagi " kali ini ucapan kapten sambil memandang Rudolf dengan tatapan mengintimidasi.

Rudolf cuman mengangguk meski di hati nya ragu, bukan karna orang yang di balik kemudi itu sudah berusia 53 tahun untuk membawa nya kembali melewati omak seperti 11 tahun silam.

Tapi yang membuat Rudolf takut adalah apa yang berada di balik ombak besar itu. " Semoga saja " ucap nya sambil menatap ombak.

Kapten memberi senyuman kecil ke arah lawan nya dan Abiel berlari memasuki ruang kemudi dengan wajah yang pucat seolah ini adalah akhir dari segala nya.

Kapal menaiki panggkal ombak sebelum ujung ombak menggulung dan mencoba menelan kapal utuh, tapi kapal masih selamat mengikuti arus yang menggulung hingga akhir nya menutup tanpa memberi kerusakan yang berarti.

Kapal masih menari-nari di atas ombak raksasa, selesai dengan ombak yang satu dan ombak yang lain pun bergantian menerjang, kali ini kapal berada di dasar gelombang yang tercipta dari ombak sebelum nya dan di depan kapal sudah ada ombak yang sama persis siap melahap kapal.

Sang kapten mencoba mencari celah agar benturan bisa di hindari dari posisi yang tidak menguntungkan ini sedangkan Rudolf cuman memegang erat gagang pintu dan membayangkan istri nya yang sudah mengandung tua.

Abiel juga memanfaatkan kedua tangan dengan berpegangan ke benda yang di rasa cukup kuat untuk menahan benturan nanti, ya selagi tangan nya masih bisa di manfaatkan kan benak nya.

Abiel yang masih menangis semakin menjadi jadi ketika ruangan sudah di selimuti kegelapan terlihat ombak sudah siap menutupi kapal mereka, bibir nya semakin cepat melantunkan doa meski doa nya sudah tidak jelas kalah dengan rasa putus asa.

Ombak akhir nya menutupi seluruh permukaan kapal menelan nya utuh beserta 4 pria di dalam nya, kapten kali ini s yang menang adalah ombak dan mungkin ini adalah akhir dari sebuah harapan, harapan ke-4 pria malang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The BadeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang