Diary Biru.

132 8 1
                                    

"Pergilah, Ra, ayah dan ibu akan mendukungmu, pastikan perasaan itu telah mati saat kamu kembali."

"Maafkan Rania, Bu, tapi sungguh aku sudah berusaha menguburnya," ucap gadis itu masih terisak.

"Kau menguburnya di sini dan ini bisa kau baca setiap hari, Nak." Sang ibu menunjuk buku bersampul biru.

"Pergilah, Ra, untuk sementara waktu. Hingga hubungan kita bisa kembali seperti dulu." Sang ayah beranjak meninggalkan anak gadisnya.

Lalu, bagaimana usaha Rania untuk mengubur cinta pada ayah angkatnya?
Dan apakah hubungan mereka kembali seperti semula?

****

Rania, seorang gadis cantik yang masih tercatat di sebuah universitas swasta di ibu kota. Hidung yang bangir dan bibir yang ranum, seringkali menjadi alasan keisengan teman-teman lelakinya. Terlebih ia adalah mahasiswi berprestasi, tentu saja namanya tak asing untuk di dengar teman satu kampusnya.

Gadis berpakaian syar'i itu semakin membuat lelaki penasaran. Tentang pakaiannya yang selalu rapi menutup rapat setiap inci kulit indahnya, pun tentang cara berjalan yang selalu menundukkan pandangan.

"Apa hijab ukuran bahwa seorang wanita itu telah baik, Ran?" Lelaki bertubuh tinggi itu bertanya penasaran.

"Bukan masalah baik atau belum, tapi hijab adalah kewajiban seorang muslimah, siapapun itu. Entah dia adalah seorang wanita yang nyaris tanpa cela, atau seorang wanita yang sedang berusaha memperbaiki aib masa lalunya." Gadis itu masih saja menundukkan pandangan, meski yang bertanya adalah lelaki yang banyak wanita lain idamkan.

"Aku sering melihat orang sudah berhijab tapi masih suka berbuat maksiat, Ra, mereka bergandeng mesra dengan lelaki bukan mahramnya," Tampak ketidakpuasan pada jawaban gadis itu.

"Kau tahu, memang fitrah manusia itu berbuat salah, tapi sebaik-baik manusia adalah yang mau memperbaiki kesalahan dan menjauhi kesalahan yang sama. Bisa jadi yang kamu lihat adalah seorang wanita yang tengah berhijrah, meninggalkan pakaian  mininya yang mengundang hasrat, atau dia adalah wanita yang baru saja berhijrah untuk memakai hijab. Berilah udzur pada orang lain, karena kita tidak tahu amal apa yang dia sembunyikan." Rania menjawab dengan mata berkaca, seakan ia tengah bercerita tentang diri sendiri.

"Lalu, maukah kau menemani jalanku dalam berhijrah, Ra," ucap lelaki itu dengan menyodorkan sebuah kotak berwarna biru.

Rania bergeming, ia masih menatap lekat benda di depannya. Rasanya ia tidak akan mampu menerima cinta dari lelaki lain, karena hatinya masih dimiliki oleh nama yang sama.
Nama yang membuatnya pergi menjauh dari keluarga.

"Rania...," Candra kembali memanggil nama gadis itu pelan.

Anis, teman satu kost Rania hanya bisa menahan getir melihat sahabatnya, betapa gadis itu masih terkurung dalam masa lalunya.

"Aku...." Gadis itu menghentikan ucapan, dengan cepat ia meninggalkan lelaki itu dan sahabatnya. Ia bingung hendak menjawab apa, selama dua tahu Candra begitu setia menanti jawabannya, tapi bibirnya terasa kelu ketika di depan lelaki itu.

Anis hanya bisa membuang napas panjang, dia sudah menebak sikap Rania setelah mendengar lamaran Candra.

Sedangkan Chandra, lelaki itu kembali menelan kekecewaan, entah sudah berapa kali dia mendapat penolakan yang sama, dari gadis yang sama juga tentunya.

"Aku akan menyusulnya," ucap Anis sambil beranjak dari tempat.

Lelaki itu kembali menjatuhkan tubuh di bangku sebelahnya, dia menatap nanar benda di tangan. Lagi-lagi cincin itu harus kembali dia simpan, hingga Rania mengiyakan lamaran. Dia tidak pernah bosan dengan penolakan yang sama, karena dia tahu gadis itu istimewa.

"Aku akan menunggumu, Rin, hingga Allah memberimu ganti yang lebih baik dari diriku." Candra kembali menutup kotak biru itu, kemudian menyimpannya di dalam saku.

****

"Berhentilah menatap laptop itu, masalahmu bukan dengan tugas, tapi hati." Anis menyodorkan secangkir coklat panas pada sahabatnya, dia tahu kegundahan Rania.

"Aku benar-benar ada tugas, Nis. Lagipula tidak ada yang salah dari hatiku," jawab gadis itu dengan menutup laptopnya.

"Katakan, apa kau masih berniat untuk pulang?" tanya Anis penasaran.

"Aku merindukan ayah dan ibu, Nis." Rania kembali menerawang, ia membayangkan sambutan dari keluarganya.

Semua berawal di hari kelulusanya saat SMA, ia pulang dengan wajah berbinar karena nilai yang didapatkan. Namun, kedua orang tuanya justru menatapnya tajam, membuatnya berjalan mendekat dengan ketakutan.

Ibu menatap anak gadisnya dengan mata sembab, sang ayah mememilih membuang pandangan.
Sikap mereka menimbulkan tanda tanya bagi Rania, tentang apa kesalahannya. Sehingga orang tua yang menyayanginya menatapnya seperti sekarang.

"Ra, boleh ibu bertanya?" Wanita berusia empat puluh tiga tahun itu mulai membuka percakapan.

"Tentu saja, Bu," lirih gadis itu masih dipenuhi ketakutan.

"Kami sudah menganggapmu layaknya anak kandung kami, Ra, ibu mohon jangan kecewakan kami." Wanita berkacamata itu kembali terisak di bahu suaminya.

Rania terkesiap dengan perkataan wanita yang dihormatinya, kenapa sang ibu membicarakan statusnya kini, adakah kesalahannya tak dapat terampuni?

"Rania minta maaf jika ada salah, Bu, tapi aku tidak tahu kenapa Ibu berbicara seperti itu." Gadis itu ikut terisak tanpa tahu pasti apa sebabnya.

"Sejak kapan, Ra?" Lelaki bersuara sejak itu mulai bertanya.

Rania bergeming, ia tidak tahu maksud pertanyaan sang ayah. Seakan tahu kebingungan anaknya, lelaki itu menyodorkan buku bersampul biru yang tadi sudah dia baca.

Gadis itu terkejut dengan benda di meja, matanya membulat seakan tidak percaya dengan pandangannya. Tiba-tiba tubuhnya terasa lemas dan tangannya bergetar hebat. Ia tidak menyangka buku yang setahun ini menemani telah di baca oleh lelaki yang ia cintai.

"Itu ... Itu ... maafkan Rania, Bu, Yah." Gadis itu bersimpuh di kaki sang ibu.

Maafkan Rania, Bu, tapi sungguh aku sudah berusaha menguburnya," ucap gadis itu masih terisak di kaki sang ibu.

"Kau menguburnya di sini dan ini bisa kau baca setiap hari, Nak." Sang ibu menunjuk buku bersampul biru

"Lalu, apa perlakuanmu selama ini karena menganggapku sebagai seorang lelaki, bukan seorang ayah?" cetar lelaki yang biasanya bicara penuh kelembutan itu, ada gurau kecewa di wajah teduhnya.

Rania terdiam, ia hanya mampu menggelengkan kepala, menjawab pertanyaan lelaki yang diam-diam ia idamankan. Lelaki yang selama ini menjadi sosok ayah yang sempurna untuknya, lelaki yang selalu berusaha memenuhi keinginannya dan lelaki yang selama ini ia semogakan dalam diam.

"Pergilah, Ra, ayah dan ibu akan mendukungmu, pastikan perasaan itu telah mati saat kamu kembali," ucap sang ayah tegas disertai sang ibu yang terisak memilukan.

Itu adalah hari terakhirnya bersama dua orang yang selama ini menjadi keluarganya. Ia adalah gadis sebatang karakter tanpa mereka, karena orang tuanya telah meninggal dalam kecelakaan.

"Pulanglah, jika kau sudah siap, Ra," jawab gadis itu dengan mengusap bahu sahabatnya.

"Aku selalu siap menerima amarah mereka, Nis, asal kami kembali bersama." Rania menggenggam tangan Anis dengan erat.

"Bukan itu, Ra, tapi siapkan hatimu," jawab Anis dengan pelan, dia tahu Rania akan paham jawabannya.

"Aku tidak pernah mengharapkan rasa ini tumbuh subur di sini, Nis, bahkan setelah kemarau berkepanjangan. Aku bukan tidak tahu batas, Nis, percayalah."

"Namun, kau sudah melewati batas sejak saat itu, Ra," tukas gadis berwajah oval itu cepat.

"Siapa sangka rasa yang selama ini banyak manusia agungkan bisa menjadi petaka jika tidak tepat sasaran," ucapnya dengan mata yang kembali basah.

Rania. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang