Kerinduan

96 4 0
                                    

"Maafkan aku, Ran, tentang kejadian kemarin. Aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang, karena waktuku masih banyak untuk menunggu, InsyaaAllah,"  ucap lelaki itu setelah berhasil menjajarkan langkah dengan Rania.

Rania berhenti sejenak dan memejamkan mata, ingin rasanya ia meminta lelaki di sampingnya untuk berhenti, tapi gadis itu tak sampai hati. Terlebih setelah semua usaha yang Candra lakukan.

"Aku yang minta maaf, Kak, sudah sering mengecewakan." Rania menatap sekilas lelaki di sampingnya, kemudian membuang pandangan pada ujung sepatu.

Candra tersenyum mendengar jawaban gadis pujaannya, baru kali ini Rania menjawab panjang tentang usahanya. Biasanya gadis itu hanya akan berkata maaf lalu pergi begitu saja. Apakah ini pertanda bahwa gadis itu sudah mulai membuka hatinya?

"Kau tahu, Ran? Setiap manusia memiliki masa kelam yang berbeda, entah itu disengaja atau tidak. Aku mengatakannya bukan karena memaksamu, tapi karena aku peduli denganmu, kau gadis yang istimewa," ucap lelaki itu yang kini sudah berdiri di depan Rania,  sebelum berlalu dia tersenyum hangat pada gadis pujaannya.

Rania menatap kepergian lelaki itu sambil memegang dada. Ini aneh, apapun usaha lelaki bertubuh tinggi itu, belum mampu membuat dadanya berdebar seperti lelaki yang selama ini ia cinta.

"Kau lelaki yang baik, Kak. Kelak kau akan mendapatkan gadis yang baik, tapi bukan aku orangnya," gumam gadis itu dengan masih menatap kepergian Candra, ia tak sampai hati jika harus mengecewakannya.

****

Rania menatap rumah bercat biru muda itu dengan mata sembab, di sana mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Menciptakan kenangan yang sulit dilupakan.

Tak berselang lama, gadis itu menangkap sosok yang selama ini ia rindukan. Sang ibu tengah menghantar kepergian suaminya, dengan senyum hangat yang dulu pernah Rania rasakan.

Rania ingat, di taman depan rumah, mereka biasa menghabiskan waktu senja bersama, menikmati bunga-bunga yang sedang bermekaran atau membersihkan rumput yang tumbuh dengan liar.

Gadis berhidung bangir itu segera membalikkan badan saat sang ayah mulai keluar gerbang rumah, ia tidak ingin ada yang melihat keberadaannya.

Ia kembali melihat sang ibu yang sudah memasuki rumah dengan sempurna. Di sana ia menjadi anak tunggal dari sepasang suami istri yang mapan secara finansial. Rumah di mana gadis itu mendapat kasih sayang dengan sempurna yang anak lain inginkan dan tempat ia merasakan cinta pertama.

Matanya kembali basah saat melihat kepergian ayahnya yang sudah tidak lagi terlihat. Tiba-tiba rasa sakit menjalar hati dan ada rindu yang semakin menyiksa diri. Rasanya ia ingin berlari ke pelukan lelaki itu, tapi ia sadar kini ada benteng kokoh yang membatasi.

"Rania merindukan kalian," lirihnya dengan air mata yang tidak bisa ditahan lagi.

****

"Kau dari mana, Ran?" Anis mendekati sahabatnya.

"Melihat ayah dan ibu," jawab gadis itu pelan.

"Dari kejauhan lagi?" tanya gadis berjilbab ungu itu heran.

"Tentu saja, aku belum bisa menunjukkan diri," lirih Rania dengan membalikkan badan menghadap sahabatnya.

"Lepaskan, Ran, ini sudah dua tahun. Apakah rasanya masih sama?" Anis mengusap pelan tangan Rania, dia tahu kesedihan hati gadis itu.

"Aku sudah melepasnya di sana, Nis, saat aku melangkahkan kakiku pergi," jawab Rania sambil menatap gadis itu tajam, seolah tidak suka dengan kata-katanya.

"Ragamu memang telah pergi, Ra, tapi hatimu masih tertinggal." Anis membalas tatapan sahabatnya, dia iba melihat Rania.

"Aku selalu meminta pada-Nya, tapi kenapa belum terkabul juga? Apakah ini salahku juga?" Gadis itu membuang pandangan ke luar jendela.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rania. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang