Kakek tua penghuni celah gunung

91 7 0
                                    

"Ya Allah, mengapa engkau timpakan kepadaku musibah sesulit ini?"

"Ya Allah, engkau berulang kali berfirman bahwasanya engkau adalah zat yang mencintai hambamu. Namun mengapa engkau membenciku?"

"Ya Allah, aku telah berusaha semaksimal mungkin. Namun mengapa tetap saja kau timpakan kegagalan dan kesulitan kepadaku?"

"Ya Allah, dimanakah keadilanmu?!"

Kata-kata seperti diatas, sering terucap dari diri kita ketika menghadapi situasi yang berat dan sulit. Seolah ingin menyalahkan keadaan dan menuntut Allah atas kesulitan hidup yang kita alami. Namun, sesulit apa sebenarnya hidupmu, wahai orang yang tak pandai bersyukur? Seberat apa cobaan yang Allah beri untukmu sehingga tuhan yang telah memberikanmu segalanya engkau tuntut juga?

Didalam kitab Al-Majaalis As-Saniyyah, dihikayatkan suatu hikayat yang menceritakan tentang seseorang yang bernama Abdul Wahid bin Zaid.

Suatu hari, Abdul Wahid bin Zaid berjalan melewati suatu celah gunung. Ketika beliau sedang berjalan, nampak olehnya pemdandangan aneh dan tak biasa ditemukan di celah gunung. Yakni seorang kakek tua renta yang ternyata bertempat tinggal disana.

Dia adalah seorang kakek tua yang buta matanya, kaki dan tangannya terputus, separuh badannya lumpuh, telinganya terkadang bisa terkadang tidak, dan dari dagingnya itu berjatuhan belatung-belatung yang menggerogotinya. Hanya satu yang beliau miliki dari panca indra beliau, yakni lisannya yang masih bisa berfungsi dengan baik.

Melihat kakek tua dengan segala macam bencana yang ada padanya, Abdul Wahid bin Zaid pun penasaran dan mencoba untuk mendekati kakek tua tersebut. Ketika Abdul Wahid bin Zaid sudah dekat, ternyata beliau mendengar kakek tersebut sedang berzikir memuji asma Allah dengan penuh kekhsyu'an.

"Segala puji bagi Allah yang telah memelihara aku dari sekian banyak bencana dan musibah yang menimpa manusia."

Ini adalah zikir yang terus kakek tua ini panjatkan. Beliau tetap memuji Allah seraya bersyukur dengan penuh kekhusyu'an padahal keadaannya sangat memprihatinkan. Tidak pernah kita menemukan di zaman sekarang ini, orang yang terkena bencana dan cobaan seperti kakek tua tersebut.

"Kebaikan apa yang telah Allah berikan kepadamu, wahai kakek tua? Tidaklah aku melihat, kecuali segala macam bencana ada pada dirimu!" Tanya Abdul Wahid bin Zaid dengan penuh penasaran.

Tiba-tiba, suara kakek tersebut meninggi seraya berkata, "Menyingkirlah engkau dari hadapanku wahai orang yang tidak pandai bersyukur!" ucapnya dengan lantang.

"Tidakkah engkau tau, bahwasanya Allah masih memberikanku lidah, yang dengannya aku bisa berzikir kepadanya? Dan tidakkah engkau tau, bahwasanya Allah juga masih memberikanku hati, yang dengannya aku bisa mengenalnya?!"

Seorang kakek tua yang hanya memiliki lidah dan hati, yang tinggal di celah gunung tanpa kaki dan tangan, separuh tubuhnya lumpuh tak berfungsi, matanya buta, telinganya kadang bisa kadang tidak, dan dari dagingnya berjatuhan belatung-belatung yang menggerogoti dagingnya. Namun lihatlah, betapa pandainya beliau bersyukur. Betapa hebat keimanannya kepada Allah, yang meskipun ditimpa cobaan yang begitu berat, lisan dan hatinya tetap bersyukur dan memuji Allah swt.

Kemudian kakek tua tersebut membaca dua bait sya'ir,

"Aku memuji Allah tuhanku yang telah memberikan aku petunjuk kepada agama islam yang lurus ini # Dia telah memberikan aku lidah, yang dengannya aku bisa berzikir setiap waktu. Dan juga telah memberikanku hati, yang dengannya aku bisa mengenal kelemah-lembutannya."

Malu rasanya ketika kita membaca kisah orangtua yang begitu luar biasa ini. Betapa pandainya ia bersyukur dan betapa tinggi keyakinannya kepada Allah, bahwasanya Allah adalah zat yang maha baik dan selalu memberikan yang terbaik. Beliau yakin bahwasanya apapun yang Allah beri, itulah yang terbaik.

Dunia tidaklah penting baginya. Tidaklah mengapa tinggal di celah gunung dengan berbagai macam ujiannya, asalkan lisan dan hati tidak lalai dalam mengingat dan bersyukur kepada Allah. Karena pada hakikatnya, kita hidup bukan untuk mengejar dunia, tetapi tidak lebih dari sekedar singgah. Laksana orang yang sedang menunggu kereta di stasiun. Stasiun kita saat ini bernama dunia, kereta yang akan kita naiki bernama kematian, dan jurusannya adalah negeri akhirat. Apabila kereta kematian sudah datang, stasiun dunia pasti kita tinggalkan. Dan kakek tua tersebut faham betul akan hal ini.

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Allah mewahyukan kepada salah satu daripada nabi Bani Israil, "Janganlah engkau mencintai dunia ini! Karena dunia ini bukanlah tempat tinggal orang yang beriman."

Kakek tua tersebut mengajarkan kita bahwasanya tinggal di celah gunung bukanlah masalah. Karena beliau sadar bahwasanya dunia ini pada hakikatnya bukanlah tempat tinggal kita. Tidaklah mengapa kita duduk di lantai ketika di stasiun, namun nanti ketika telah sampai kepada tujuan kita yang sebenarnya, kita duduk diatas sofa yang empuk di surga, dengan izin Allah. 

Malaysia, 8.04.19.

-ZIF-

Kakek tua penghuni celah gunungWhere stories live. Discover now