HFLS [1]: Faith

138 4 2
                                    

Faith mengerang begitu cahaya matahari pagi yang menerobos gorden kamarnya menyilaukan matanya. Entah mengapa, Faith tidak ingin bangkit dari ranjangnya hari ini. Gadis itu baru saja ingin menarik selimut dan melanjutkan tidurnya ketika Hope–adik perempuannya–menggedor pintu kamarnya dengan rentetan teriakan cempreng.

            “Kak! Mom sudah menunggu di bawah!” seru Hope.

            Faith mengerang. “Hari ini masih hari Minggu, Hope!” balas Faith.

         “Aku bukan anak kecil, Kak. Aku tahu hari ini adalah hari Senin dan itu berarti kita harus berada di sekolah sebelum jam tujuh!” seru Hope sambil menggedor-gedor pintu kamar Faith penuh nafsu. Untung, Faith sempat mengunci pintu kamarnya sebelum dia tidur kemarin malam. Kalau tidak, Hope mungkin akan menyiraminya dengan seember air es.

            “Duh! Baiklah, aku akan berada di meja makan limabelas menit lagi,” sahut Faith, kemudian dia menggosok kedua matanya dan beranjak dari ranjangnya.

            “Limabelas menit! Kalau terlambat sedikit saja, aku akan membunuhmu! Terlambat di hari Senin itu sama saja dengan cari mati!” omel Hope.

            Faith mengerang. “Aku tahu, Hope. Aku sudah bersekolah di sana setahun lebih lama daripada kamu! Sekarang, lebih baik kamu turun ke ruang makan dan beri aku limabelas menit untuk bersiap diri,”

            “Baiklah,”                      

            Faith mendengar langkah kaki menjauh dari pintu kamarnya dan segera berjalan menuju kamar mandi. Faith bukannya malas. Gadis itu hanya agak kesal dengan jam masuk sekolah hari Senin yang dipercepat limabelas menit daripada jam masuk sekolah di hari lainnya.

            Faith menyempatkan diri mematut diri di cermin, kemudian dia tersenyum kecil pada dirinya sendiri. Faith baru saja mau memilih karet rambut ketika dia mendengar suara Hope yang cempreng meneriakinya bahwa dia telah kehabisan limabelas menit miliknya. Faith mengerang, kemudian dia segera mengambil ranselnya dan langsung menuju ke ruang makan.

            “Limabelas menit lebih duapuluh empat detik!” Hope melipat kedua lengannya di atas perut.

            Faith memutar kedua bola matanya. “Terserah, Hope,” Faith tersenyum manis kepada kedua orang tuanya yang duduk di hadapan Hope dan Love. “Maaf aku terlambat.” Faith mengigit bibir bawahnya, kemudian memasang wajah aku-minta-maaf-aku-benci-hari-Senin.

∞∞∞

Faith mendesah pelan, kemudian dia turun dari mobil yang mengantarnya ke depan gerbang sekolah diikuti oleh Hope dan Love. Faith benci hari Senin. Ah, tidak. Faith benci sekolah. Sebenarnya, Faith adalah anak yang cukup cerdas. Tapi, duh, malasnya itu loh tidak ketulungan!

            Faith berjalan masuk ke dalam kelasnya yang terletak di lantai tiga dan langsung menuju tempat duduknya. Dia menaruh tasnya di atas meja, kemudian langsung menelungkupkan wajahnya di atas tas, berusaha sebisa mungkin untuk mencuri-curi waktu tidur. Toh, masih limabelas menit lagi sebelum pelajaran dimulai. Bagi Faith, tidur semenit di hari Senin itu sangat berarti!

            Gadis itu baru saja mau masuk ke dalam alam mimpinya ketika dia merasa seseorang mengguncang bahunya kuat-kuat. Faith langsung bisa menebak kalau yang mengguncang-guncangkan bahunya adalah Emily, orang yang menjadi teman dekatnya sejak masuk SMA.

            “Hei, Faith, hei! Jangan tidur dulu, heeei!” ujar Emily heboh sambil mengguncang-guncangkan bahu Faith kuat-kuat.

            “Ada apa, Em?” Faith membuka sebelah matanya, kemudian dia menggosok matanya.

            “Kau tau? Hari ini ada murid pindahan dari luar negeri!” cerita Emily.

            Faith mengangkat sebelah alisnya. Murid pindahan\? “Bukannya hal itu sudah biasa, Em?” sahut Faith, ogah-ogahan. Menurut Faith, murid pindahan dari luar negeri itu wajar-wajar saja karena sekolahnya adalah sekolah nasional plus.

            “Bukan masalah itunya, Faith!” Emily menggertakkan giginya, gemas.

            “Lalu?”

            “Dia dulu pernah sekolah di kota ini, kemudian pindah ke luar negeri! Menurut gosip anak-anak kelas, dia cukup kece dan... dia akan masuk di kelas ini! BAYANGKAN SAJA!” celoteh Emily penuh semangat, “Oh iya! Menurut gosip yang berkembang, dia sangat pintar. Anak baru ini diizinkan masuk pada pertengahan semester kelas duabelas, ‘kan? Dan itu sangat jarang terjadi!” Emily menghela napas dramatis, “Dia pasti definisi dari perfection,”

            Faith mengernyitkan dahinya. Itu berarti kelasnya akan dipenuhi dengan orang-orang penasaran terhadap orang baru ini dan Faith tidak suka hal ini.

            “Kita sangat beruntung, Faith! Kita bisa melihatnya setiap hari sekolah dan setiap jam di sekolah! Dia bisa jadi milik pribadi kelas ini. YA AMPUN!” pekik Emily.

            Faith baru saja mau merespon perkataan Emily ketika bel tanda pelajaran dimulai berbunyi. Well, Emily baru saja menyia-nyiakan waktu tidurnya selama limabelas menit. Faith berani menjamin kalau dia akan menguap sepanjang jam pelajaran Mr. Ferdy–guru Kimia.

            “Selamat pagi!” sapa Bu Margaretha–guru Bahasa Indonesia sekaligus wali kelas XII-IPA2–guru ini adalah salah satu guru yang menolak keras dipanggil dengan sebutan Bu dalam Bahasa Inggris.

            “Pagi, Bu!” sahut seluruh warga XII-IPA2.

            “Ibu tebak, kalian sudah mendengar gosip yang menjalar mulai tadi pagi tentang seorang murid baru di tengah semester satu kelas duabelas. Ibu tahu sebagian dari kalian pasti akan bertanya-tanya mengapa sekolah mengizinkan murid pindahan ini masuk di tahun terakhir. Tapi, itu bukan hak Ibu untuk menjelaskan karena kewenangan tentang penerimaan ini semuanya di tangan yayasan dan staf guru,” jelas Bu Margaretha, panjang-lebar yang disahuti dengan teriakan ‘uuuuu’ dari warga XII-IPA2.

            Bu Margaretha hanya terkikik pelan. “Kalau begitu langsung saja kenalan, ya? Biar Ibu panggilkan anaknya.” Bu Margaretha keluar dari kelas dan tidak lama kemudian, Beliau masuk dengan seorang laki-laki berpostur tegap khas bule.

            “Selamat ugh-pagi,” sapa anak baru itu.

            Faith mendengus, sementara matanya masih sibuk mengamati langit yang berwarna biru ini.

            “Namaku Axel Jonathan, biasa dipanggil Axel. Pindahan dari Swiss. Aku cukup fasih berbahasa Indonesia karena dulu aku sempat tinggal di Indonesia hingga usiaku tujuh tahun. Mohon bantuannya,” ujar Jonathan sambil tersenyum kecil.

            Faith mengerutkan keningnya begitu dia mendengar nama lengkap anak baru di kelasnya. Tidak. Faith pasti salah dengar, ‘kan? Ya, dia pasti salah dengar! Tidak mungkin Jonathan Axel ini adalah Jojo-nya.

            “Kalau begitu, silakan duduk di samping Faith,” ujar Bu Margaretha sambil menunjuk kursi kosong yang berada di sebelah Faith.

            “Terima kasih, Bu,” ucap Jonathan, kemudian dia berjalan ke arah kursi yang ditunjuk oleh Bu Margaretha.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 11, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HFLS [1]: FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang