"Menurutmu, kenapa orang-orang senang sekali jatuh cinta?" tanyaku di suatu sore hari.
Lalu kamu menjawab seperti biasanya. "Memangnya tidak boleh?" Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
"Siapa yang bilang tidak boleh?"
Tadinya orang di sebelahku ini sedang menikmati matahari terbenam di depan matanya. Tapi sekarang fokusnya beralih kepadaku. Hihi. Aku senang juga.
"Kalau kita tidak pernah jatuh cinta, siapa yang akan mengajarkan kita tentang arti sebuah ketulusan?"
Aku menatap langit-langit. "Mama? Papa? Kakak? Adik? Atau, kamu?"
Kamu mendengus. Kalau ini aku sebal, tidak senang. "Bodoh."
Aku mengerut. "Kok aku yang bodoh?"
"Siapa yang bilang kamu bodoh? Tadi aku ngatain orang-orang yang lagi pacaran di sana." Kamu menunjuk dua pasang sejoli di bawah pohon kelapa. Oh mereka lagi ciuman. Pantas kamu bilang bodoh.
"Kenapa ya mereka pacaran?" tanyaku penasaran.
"Kenapa ya kamu hidup?"
Aku menyengir. "Untuk menemani hidupmu supaya tidak kelam melulu, dong."
Kamu mendekat dan melingkarkan tanganmu pada bahuku. Pipiku pasti sudah merah sekali. Orang ini ya benar-benar.
"Kenapa kamu jatuh cinta?" tanyamu dengan tatapan yang malah mengarah kepada sepasang kekasih itu. Jadi cemburu dengan mereka.
"Aku enggak lagi jatuh cinta."
"Tapi?" Hihihi. Kamu tahu saja kalau masih ada kelanjutannya.
"Tapi, aku sedang terbang cinta." Aku menyengir bahagia dengan jawabanku.
Sekejap dahimu mengerut. Ya ampun, kamu jadi kelihatan kayak Papa. Lebih tua. Tapi aku senang. Soalnya dengan begitu aku punya alasan untuk mengelus dahi kamu.
"Kenapa namanya terbang cinta? Aneh deh kamu."
Aku tersenyum. "Aku gak mau jatuh cinta. Jatuh itu sakit dan aku gak mau kesakitan. Jadi aku maunya terbang cinta aja. Biar aku bisa terbang menembus awan-awan dan gak akan kesakitan."
Kamu bergumam, "Tapi kalau nembus awan nanti kedinginan. Kan di atas oksigennya sedikit. Jadi kamu bakal tetap mati karena kedinginan atau karena kekurangan oksigen."
Aku mendorong tubuh orang ini. Dasar. Gak bisa lihat orang senang dikit apa ya.
"Ya udah aku terbangnya gak usah tinggi-tinggi."
"Hmm." Nah, kalau orang ini udah ngeluarin bunyi kayak gitu, artinya ada dua. Orang ini gak mau ngelanjutin obrolan karena enggak penting, atau karena gak bisa menjawab lagi balasanku.
"Opsi?" tanyaku.
"Kedua."
"Yes." Aku bersorak senang. Soalnya biasanya aku yang kalah berdebat. Hah!
"Tapi..."
Aku menoleh. "Ya?"
Dia ragu-ragu menatap mataku. "Tapi terbangnya jangan jauh-jauh ya."
Aku jadi penasaran. "Kenapa memang?"
"Nanti aku susah ngejarnya."
Ah, kamu manis sekali. Tapi aku pura-pura gak tahu aja deh. Jahilin orang ini kan menghibur banget.
"Maksudnya?"
Kamu menggaruk kepalamu. "Ya pokoknya jangan jauh-jauh."
Ah, salting. "Memang kenapa kalau jauh?"
"Kan aku udah jawab tadi."
"Tapi aku enggak ngerti maksudnya."
"Harus aku jawab ulang lagi?"
Duh, lama-lama aku gemas dengan orang ini. Ingin aku cubit pipinya.
"Enggak.""Terus?"
"Makasih jawaban yang tadi. Aku cuman bercanda enggak paham doang kok."
Kamu menatapku lekat-lekat. Ya ampun, aku mana kuat diperlakukan seperti ini.
"Kalau kamu jatuh cinta denganku mau gak? Nanti aku yang lindungi kamu kalau kita sama-sama jatuh."
Aku menggeleng. Oh, aku tidak akan membiarkan orang ini terluka.
"Gimana kalau kita buat pilihan baru?" usulku.
"Apa?"
"Jalan cinta?"
"Jadi maksudnya biar enggak berbahaya kita jalan aja gitu?"
Aku mengangguk semangat dengan amat yakin. Tapi kamu malah menyentil dahiku. Huhu. Kalau berdarah bagaimana?
"Kamu tambah bodoh aja, deh."
Aku manyun. Gak pengertian banget deh ini orang."Aku punya pilihan bagus."
"Apa?"
"Kita lupakan dulu tentang jatuh cinta. Kita buang kata-kata terbang cinta. Dan kita abaikan kata jalan cinta."
"Terus diganti apa?"
Kamu tersenyum lebar. Aih, manis sekali senyumanmu, Pak. Jadi mau pajang kamu di galeriku selamanya deh.
"Tapi diganti dengan...." Orang ini sok-sokan bikin penasaran, deh. "Dengan merasakan cinta!"
Merasakan cinta? Apaan tuh? Eh tapi boleh juga, sih. Aku mengangguk setuju. Kalau begini jadinya aku gak akan kesakitan karena jatuh, gak akan mati karena kedinginan atau kekurangan oksigen, dan aku gak akan menjadi lebih bodoh lagi.
"Kok kamu lebih pintar dari aku, sih?"
Lalu senyuman licikmu pun keluar. Huh, dasar! Begini nih orang yang kalau dipuji dikit topengnya langsung terbongkar.
Aku mengalihkan pandangan kembali ke arah matahari. Loh, mataharinya kok hilang. Aku baru sadar kalau matahari telah digantikan oleh bulan. Aku pun melirik orang di sebelahku. Duh, tampan sekali ciptaan-Mu.
Eh, tunggu. Aku jadi kepikiran sesuatu.
"Eh, kenapa ya kita harus merasakan cinta?"
Kamu mendelik tajam. "Harus banget aku jawab?"
Aku manyun. Kamu sinis.
Romantis sekali.
***
Hahaha.
Iya tahu aneh sekali.
Tapi ya sudah lah.Athenalympus,
09-04-19