Go On!

246 26 11
                                    


Wang Jia-er merupakan seorang anak laki-laki dari garis keturunan bangsawan. Jia-er tidak seperti anak-anak bangsawan lainnya yang suka dunia gemerlap dan bersosial dengan sesama bangsawan lainnya. Jia-er terlalu menutup diri dari pergaulan, anti bersosialisasi mengalir dalam darahnya. Sehingga orang-orang di sekitarnya pun menganggapnya sebagai sosok yang angkuh dan masa bodoh. Orang-orang itu hanya berani menghujat dibalik punggungnya, mereka memujanya di depan dan mencelanya di belakang. Menyakitkan memang. Tapi tidak ada yang bisa dilakukannya, karena Tuhan telah menciptakannya seperti ini dan menaruhnya dalam tubuh ini.

Jia-er termenung. Ia seharusnya melanjutkan membaca bukunya, namun kenyataan pahit yang dilaluinya selama ini selalu berhasil menenggelamkannya dalam lautan bawah sadar. Membuatnya terus dihisap lubang lamunan yang entah sampai kapan akan selalu menambah beban di hatinya. Jia-er ingat betul, ia masih memiliki jadwal ujian untuk kelas praktikum. Namun, ia rasanya sudah tidak ingin untuk menyentuh bukunya lagi. Pikirannya sudah terlalu lelah untuk kembali diajak berpikir.

Tukk...Tukk...

Jia-er tersadar dari lamunan panjangnya. Suara riuh kerikil yang memukul jendela kamarnya membuatnya tersentak kaget. Jia-er mulai menerka-nerka, bertanya pada dirinya sendiri, siapakah sekiranya yang berani melakukan hal itu di kawasan rumahnya. Jia-er memberanikan diri berjalan mendekati sumber kebisingan di kamarnya. Suara itu masih saja terdengar. Ia mulai menduga hal-hal yang tidak baik. Jia-er harap-harap cemas, mungkin saja yang di luar sana bukanlah orang baik-baik.

"Hei, cepat buka jendelanya sebelum ada yang melihatku!" Bisikan keras dari seseorang di luar kamarnya, mengagetkan dirinya. Orang itu terdengar begitu was-was dengan keadaan di luar sana. Entah mengapa Jia-er hanya menurut saja. Tangannya terjulur hendak membuka pengait jendela kamarnya. Seseorang yang berada dibalik jendelanya sesaat lalu kini melompat masuk ke dalam kamar. Jendela tanpa jerjak besi itu mempermudah orang itu masuk ke kamarnya.

"Jaebum!" Pekik Jia-er kaget, pada anak lelaki yang saat ini berdiri di hadapannya. Anak Lelaki itu tampak menepuk-nepuk tangannya. Membersihkan sisa-sisa debu yang masih menempel di kulit kasarnya. Jia-er masih tidak menyangka jika perbuatan yang hampir serupa kriminal itu merupakan perbuatan sahabatnya, Jaebum. Ia bahkan tidak yakin Jaebum bisa seberani itu menyelinap masuk ke rumahnya.

"Hei, santailah! Tidak perlu sekaget itu." Jaebum menjetikkan jarinya di depan wajah Jia-er. Tawa khas Jaebum terdengar segar di pendengarannya. Sudah lama rasanya ia tidak berjumpa dengan Jaebum. Sikap kedua orangtuanya yang terlalu protektif padanya membuat waktu luangnya untuk bisa bermain dengan Jaebum terbuang sia-sia. Ia bahkan tidak diperbolehkan hanya untuk berjalan-jalan sendirian di luar pekarangan rumahnya.

"Kau baik-baik saja, kan? Jantungmu tidak bermasalah hanya karena aku melakukan ini padamu, bukan?" Jia-er menggeleng pelan. Ia lalu kembali memasang wajah datar khas tanpa ekspresi miliknya. Jia-er memilih untuk duduk di tepi ranjangnya, lalu menepuk tempat kosong itu. Meminta Jaebum untuk duduk di sampingnya. Jia-er sama sekali tidak keberatan jika barang-barangnya disentuh oleh Jaebum, orang yang baru saja masuk ke lingkup pertemanannya. Mengingat jika Jia-er merupakan sosok yang anti sosial dan berasal dari keluarga bangsawan. Orangtuanya mungkin akan sangat terganggu dengan keberadaan orang-orang se-kasta Jaebum. Jia-er justru senang jika dirinya dapat berjumpa dengan Jaebum. Ia suka cara Jaebum memperlakukannya sama seperti orang pada umumnya. Jaebum tidak memujanya. Jaebum juga tidak mencelanya. Jaebum tulus berteman dengannya.

"Apa yang kau pikirkan, wajahmu terlihat lelah. Istirahatmu cukup kan?" Jia-er menganggukkan kepalanya. Memposisikan tubuhnya hingga keduanya berada dalam posisi yang berhadap-hadapan. Jaebum tersenyum lebar. Jemarinya naik dan mengacak-acak surai sewarna Auburn Brown Jia-er. Jaebum suka menyentuh rambut Jia-er. Rambutnya terasa begitu lembut dan juga tebal. Jaebum dapat membayangkan sebanyak apa perawatan yang dilakukan Jia-er, hingga kulit wajah dan tangannya pun tampak begitu halus dan lembut.

Go On!  [JackBum]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang