Sepuluh

230 10 2
                                    

Pekerjaan magang di konservasi satwa air yang bukan milik pemerintah, memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihannya, kita bis dapat banyak link dalam dan luar negeri. Baik formal dan non formal. Kita bisa tahu kontak calon-calon penyandang dana untuk kegiatan kampus atau penelitin pribadi. Juan semangat banget dalam hal ini.

Lahan NGO ini bisa jadi tempat 'basah' dalam artian kucuran dana kalau kondisi keuangan dan sponsoring mereka stabil. Kita bisa diikutsertakan saat ada pelatihan atau kerja sama dengan NGO atau instansi pemerintahan. Apesnya, saat kedapatan berada dalam lingkungan yang serba di ujung tanduk, boro-boro pelatihan dan tetek bengek lainnya. Yang ada, tenaga bakalan terkuras habis mengurus satwa dari pagi hingga malam.

Hari ini, Juan agaknya sedikit lunak terhadapku. Mungkin, kejadian beberapa hari lalu sedikit mengubah pendiriannya. Dia juga rada kaget pas tahu aku punya banyak informasi tentang sistem manajemen pakan, pengobatan, sampai pembiakan di konservasi Mr. Luke ini lebih daripada dirinya. Terang saja. Aku kan disayang sam keeper-keeper alias penjaga kandang di sini. He he.

"Telur-telur penyu hari ini ada yang mau netes katanya, Juan. Mang Jajang yang bilang."

Kami sedang menyusun laporan di ruang istirahat. Masa magang kami akan berakhir hari ini.

"Oya? Berarti nanti malam lembur?"

Maksud Juan lembur itu, kami mantau anak penyu alias tukik-tukik itu naik ke permukaan pasir dan nuntun mereka dengan cahaya senter ke area pembesaran. Kalau di alam liar, mereka bakalan ngikutin arah sinar bulan, seharusnya, ke arah laut untuk berenang. Yang sering jadi masalah, berhubung tukik-tukik itu masih lugu dan polos luar biasa, mereka sering tersesat.

Tukik nggak bisa bedain mana sinar bulan dengan sinar kendaraan atau penerangan jalan. Ini yang sering biki mereka nyasar ke pemukiman penduduk sekitar. Gagal kembali ke laut, dan berakhir dimangsa predator di darat. Padahal, saat mereka balik ke laut, kehidupannya juga nggak kalah naas. Bayangin, dari sekian ribu telur yang netas, tukik yang lolos dan bertahan hidup melalui seleksi alam di laut cuma beberapa ekor.

Sedih, ya? Konon ini sebabnya, induk-induk penyu suka 'menangis' usai bertelur. Mungkin emak penyu itu tahu, anak-anaknya hanya sedikit yang bisa bertahan hidup.

"Kalo elo ngantuk, balik ke kamar sana. Biar gue yang jagain tuh tukik-tukik sama Mang Jajang."

Aku mendelik. "Tumben?"

Juan terkekeh.

"Biar upah lemburnya lari ke gue semua, Man."

Aku pengin nyembur dia pake desinfektan. Biar suci mulutnya dari kata-kata najis penuh dosa. Budak duit.

"Biarin aja, jangan digaliin, Man. Makin elu bantu mereka keluar, insting tukik-tukik itu nggak bekerja."

Tangan Juan menarikku.

"Kasian mereka, Juan."

"Haelah. Ini konservasi. Tugasnya naikkin populasi mereka dan nyiapin mereka untuk balik ke habitat asal, Manda. Bukan panti asuhan hewan terlantar. Elu baperan amat, sih?"

Lagi, Juan menarik tanganku. Sayangnya, kakiku tertahan di akar pohon akasia. Keseimbanganku goyah. Celakanya kalau aku jatuh, sarang telur penyu di hadapan bakalan rusak.

"Awas, Bego!"

Suara mirip karung beras dijatuhkan terdengar. Aku jatuh. Takut dengan apa yang aku bayangkan, mata terpejam rapat. Gawat, maafin aku tukik-tukik imut. Cerobohnya aku bikin pendek umur kalian.

"Nggak apa-apa? Kok nangis? Mana yang sakit, Man? Elo gak papa?"

Eh? Kok Juan ngomong gitu? Suaranya deket banget? Kok ini empuk?

Reflek aku membuka mata. Jaket hitam adalah hal pertama yang kulihat. Sepasang lengan memelukku erat. Uap nafas hangat menyentuh hidungku. Aku mendongak, dan ... bibir kami bertemu di bawah keremangan malam.

Kaget, aku melepaskan diri dari dekapan Juan.

"Maaf, maaf, aku nggak sengaja! Sumpah! Maaf!"

Juan menyeka bibirnya. Dia menggumam, tapi aku nggak bisa dengar apa-apa. Aku cuma bisa dengar jantungku yang ditabuh kencang.

"Ati-ati kalo jalan!"

COCOLLOGYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang