Kata seseorang, hidup itu adil. Ada yang jahat, ada yang baik. Lalu ada yang sukses, dan ada yang gagal. Satu hal yang pasti, setiap orang memiliki fasenya kehidupannya masing. Kiasan bahwa hidup itu seperti roda berputar tentu sudah banyak didengar oleh orang-orang. Tidak ada yang selamanya berada di atas, dan tidak ada yang selamanya berada di bawah. Hidup ini adil, dengan caranya sendiri.
Tapi aku, mau seberapa kuat pun mencoba, aku tidak pernah bisa mempercayai kiasan itu. Menurutku hidup itu tidak adil. Seperti hidupku yang selalu berada di titik terendah, dan Jingga yang selalu berada di titik teratas. Papa dan Ibu tentu yang berperan dalam menentukan hal itu.
Sudah sepuluh tahun berlalu sejak Mama meninggalkanku pada ketidakadilan dan Papa kembali menikah lagi dengan wanita perebut keadilan. Sudah delapan tahun berlalu pula semenjak lahirnya Jingga— sang iblis yang bersembunyi di balik wajah malaikat—dan Papa yang terkena sihir iblis.
Malam ini, lagi-lagi semua berjalan seperti biasanya. Jingga menangis, Ibu marah, Papa ikutan marah, dan aku yang menjadi korban kemarahannya. Sepertinya roda kehidupan sedang kekurangan pelumas sehingga roda itu tidak pernah berputar. Buktinya aku masih selalu berada di bawah dan tidak pernah menggapai titik atas.
Malang sekali nasibku malam ini. Aku diusir dari rumah selama semalam dan disuruh tidur di teras rumah. Kalau aku mau, sudah sejak lama aku tinggalkan rumah ini. Tapi sayangnya aku cuman remaja ingusan yang masih mengandalkan kekayaan orang tua.
Tapi mereka tidak pernah tahu, kalau aku tidak pernah benar-benar akan tidur di teras. Malam ini aku akan kembali berpetualang menjelajahi kota sampai dini hari nanti.
Berbekal baju tidur lusuh dan sendal jepit yang masih bagus di antara yang lainnya, aku pun keluar komplek dan berjalan di atas trotoar menelusuri jalanan. Aku sudah hafal sekali pada setiap jalanan di kotaku, jadi aku yakin bahwa aku tidak akan tersesat seperti orang bodoh.
Tapi apesnya, perutku kelaparan dan memberontak meminta jatah makan. Huft, seharusnya sebelum mengganggu Jingga aku sudah makan dulu tadi. Ck. Aku menendang batu kerikil karena kesal.
Perutku tambah memberontak. Aku pun memilih duduk di atas halte untuk mengistirahatkan badan dan pikiran, terutama perutku. Kalau perkiraanku benar, seharusnya sekarang sudah tengah malam. Aku yakin aku sudah berjalan jauh dari rumah dan yang memang pastinya membutuhkan waktu panjang untuk melakukannya.
Jam segini jalanan masih ramai saja oleh kendaraan. Mau beroda empat, beroda dua, atau beroda enam pun masih melintasi halte yang sedang kududuki ini. Mereka apa tidak takut dengan para begal yang suka berkeliaran memangsa korbannya apa?
Sangking asiknya menatap kendaraan yang melewatiku, aku sampai tidak sadar kalau sudah ada kakek-kakek renta yang duduk di sebelahku. Tangan kirinya memegang karung yang kutebak berisi sampah-sampah daur ulang. Sementara tangan kirinya mengurut setiap bagian kakinya. Kakek itu melihatku dan tersenyum. Aku pun membalas senyuman itu dengan canggung.
"Sendirian aja?" tanya kakek itu.
Aku mengangguk. "Iya, Pak."
Tiba-tiba kakek tersebut tertawa. Bukan jenis tawa yang keras, hanya tawa kecil yang hampir mirip kekehan. Tapi lumayan memecah keheningan yang sejak tadi melanda diriku. "Duh, nak. Jangan panggil saya bapak. Saya sudah terlalu tua untuk dipanggil seperti itu. Panggil saja saya Kakek Tom."
Aku menggaruk-garuk kepala. Menurutku panggilan bapak tidak hanya dikhususkan untuk laki-laki yang berumur dewasa saja. Tetapi juga untuk kakek-kakek yang telah lanjut usia. Lagipula, beliau kan bukan kakekku. Tapi alih-alih menyuarakan kalimat tersebut, aku memilih mengangguk.
"Kamu kok malam-malam begini ada di luar sendirian, Nak? Tidak takut?" tanya Kakek Tom.
"Kakek kok enggak takut malam-malam begini masih ada di luar?" Aku memilih bertanya balik, dari pada kisah hidupku direcoki oleh orang yang tak kukenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakek Tua pada Penghujung Malam
Short StoryDarinya aku belajar banyak hal; Bahwa hidup itu memang adil, dengan caranya sendiri.