Saat itu, aku mulai menempuh jenjang SMP, sudah mengakhiri masa MOS-atau yang sekarang akrab disebut MPLS-dengan biasa saja. Nggak ada istimewa - istimewanya. Mendapat buku panduan bersampul biru tua, isinya tentang aturan sekolah, nama - nama guru atau staf beserta mata pelajaran yang diajarnya, serta nama - nama anggota OSIS maupun MPK. Yang membuat riuh adalah yang terakhir itu. Pasalnya peserta MOS harus meminta tanda tangan maksimal dari semua anggota OSIS dan MPK. Jelas - jelas itu sekedar ajang anggotanya pamer kharisma, atau menyuruh - nyuruh; seperti bernyanyi, menari, supaya dapat tanda tangan. Pokoknya, hanya beberapa anggota yang kuminta tanda tangannya. Sekitar 7 orang. Itu pun dengan malas - malasan atau menitip ke teman, emmm... sebenarnya ketika itu belum bisa disebut teman.
Ada lagi yang tak kalah biasa - biasa saja. Demo ekskul. Kumanfaatkan waktu itu untuk jajan di kantin. Hampir semua orang berkumpul di lapang untuk menonton demo, aku malah ngacir ke kantin untuk mendapat asupan, berkenalan dengan bibi - bibi, mang - mang yang berjualan disana. Kalau sudah kenal, mudah untuk ngutang. Akhirnya, kuputuskan untuk tidak ikut ekskul apapun. Iya, apapun. Nggak ikut sama sekali.
Seminggu setelahnya, proses pembelajaran mulai berlangsung, diawali dengan guru yang memperkenalkan dirinya ketika menginjak ke kelasku. Murid - muridnya juga ikut memperkenalkan diri, walau tak yakin guru - guru itu hapal semua nama. Palingan, mudah mengenal nama mereka yang pandai atau nakal. Biasa.
Waktu itu, kukenalkan diri di depan kelas, "Biana Bagaskara Amanda, anak kedua dari tiga bersaudara, lahir dari keluarga biasa saja. Kalau ingin tahu banyak tentangku, harusnya jangan." begitu celetukku. Dengan akhir kalimat yang sedikit menggantung, salah satu orang cowo lantas bertanya, "Kenapa emangnya kalo penasaran?" tanyanya. Berani juga dia bertanya.
"Karena... males kalo harus jawab pertanyaan yang panjang, pertanyaan kayak; rumahmu dimana, kakakmu cowo apa cewe, mamahmu suka ngomel apa enggak," jawabku dengan begitu lancarnya. Seisi kelas hening sesaat, kebetulan gurunya hanya diam mengisi absensi dan agenda kelas. Sedetik kemudian terdengar cengengesan dari beberapa siswa yang menular ke seisi kelas. Pak Guru langsung bangkit menenangkan, namanya Pak Firman. Lantas menyuruhku untuk kembali duduk.
Pembelajaran berlangsung lancar, sebab hanya 30 menit Pak Firman menerangkan materi, kebanyakan diisi dengan perkenalan, curhatan, dan candaan yang dilontarkan oleh murid atau oleh Pak Firman sendiri.Saat bel istirahat berbunyi, murid - murid berhamburan keliar kelas. Dania-teman sebangkuku-mengajak ke kantin, kuterima tawarannya. Sebab perutku sudah menginginkan batagor, cimol, dan otak - otak dari para amang - amang dan bibi tercinta. Senyumku merekah begitu jajanan begitu banyak. Surga dunia.
Kupesan beberapa jajanan bersama Dania, mondar - mandir hampir ke semua pedagang. Luar biasa. Meski tatapan beberapa kakak kelas kerap membuat risih, tak kami hiraukan. Asupan lebih penting daripada jaim di depan kakak kelas.
Begitu seterusnya hingga kami ke kelas dan menghabiskan jajanan kami dengan bahagia, sesekali diselingi dengan obrolan menarik yang tak terpikirkan olehku. Dania, sama uniknya denganku. Kujadikan dia teman. Sudah resmi menjadi teman sejak itu juga.
Gimana, nyesel sudah masuk ke dalam ceritaku yang biasa - biasa saja? Tenang, ini belum berakhir. Di kelas tujuh, banyak cerita yang menarik, tidak biasa - biasa saja laaah, kuga ada konflik. Pokoknya, selamat sudah masuk ke dalam dunia Bian dan Kisahnya. Sebab perjalananku adalah awal dari pembelajaran menuju Bian yang lebih dewasa. Sampai... bisa saja mulai mengenal cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven to Eleven
Teen FictionSelamat datang di dunia Bian dan ceritanya. Seven to Eleven; dari tujuh ke sebelas butuh sekitar 5 tahun lamanya. Perjalanannya tak lagi sehambar dulu dengan segala gelagat bodo amat khas Bian. Diana datang menjadi kawan sesama aneh, eh, unik.