Satu

53 7 7
                                    

Sehari sebelum aku berpisah dengan Ino, dia pernah bilang bahwa seberapapun kamu mencintai seseorang, jika dia bukan ditakdirkan untukmu kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kamu hanya bisa menelan takdir yang tidak mendukung mimpimu dan menerima sebuah kenyataan yang akan membuat hatimu sakit.

***

"No, kenapa kamu diem aja sih? katanya ada yang perlu di bicarain"

"Nggaktahu Sya" jawabnya terdengar berat

"Kamu kenapa No?" tanyaku lirih dan menahan gemuruh di kelopak mataku

"Sya aku–"

"Jangan bilang kamu mau mengakhiri hubungan kita!"

Ino hanya diam saat itu, menunduk cemas akan perasaanku. Jujur saat itu aku takut jika Ino akan memutuskan hubungan ini, tubuhku mendadak terasa lemas, pikiranku teraduk semburat. Sedari tadi Ino diam saja, seakan ada sesuatu yang memaksanya untuk berpikir keras. Ino berdeham mencairkan suasana, sedangkan aku masih kalut dengan rentetan pertanyaan yang berkubang dikepalaku.

Dia meraih erat tanganku
"Sya, aku sungguh minta maaf karena gabisa nerusin hubungan kita"

Aku menatapnya tak paham, maksudnya tak paham dengan semuanya. Kemarin aku dan Ino bisa dikatakan sangat baik-baik saja, bahkan kami bersenda gurau melalui telfon hingga larut malam.

"No, please kita bukan lagi anak kecil yang tiba-tiba putus"  jawabku dengan serak.

"Aku" Ino berat untuk mengatakannya

"Aku dijodohin sama anak temennya Mama Sya, jujur aku cinta dan sayang banget sama kamu. Tapi kalau Mama udah seperti ini aku bisa apa Sya, kamu tahu itu kan. "

Ya, Ino memang anak yang berbakti kepada Mamanya, ia sangat menyayangi Mamanya, apapun kemauan Mamanya pasti akan Ino penuhi, mungkin karena Ayah Ino sudah meninggal dunia.

Aku selalu percaya jika Ino masih mencintaiku dengan sangat, Ino tidak pernah berkata bohong mengenai perasaannya. Sudah 5 tahun kami menjalin hubungan, memang Ino lebih tua 2 tahun dari aku. Sifatnya yang dewasa dan selalu mau mengalah yang membuatku kagum dengan dirinya.

Aku masih menunduk menelan habis rasa kecewaku, menahan air mataku supaya tidak jatuh dengan percuma, menguatkan hati dan diriku sendiri dalam batin. Ino merasakan apa yang aku rasa saat itu, hingga pada akhirnya Ino memelukku. Tangisku pecah tak tertahankan isakan demi isakan, Ino hanya bisa mengusap kepala dan menenangkanku.

Ia biarkan diriku menangis puas di pelukannya. Sangat nyaman saat dipeluk seperti ini, apa ini peluk hangat yang bisa aku rasakan untuk terakhir kalinya?
Peluk hangatnya dan aroma parfum yang menenangkan, rasa-rasanya aku sangat nyaman dan tidak akan rela untuk melepasnya.

Tuhan, tolong kuatkan diriku untuk menerima keputusan terbaikmu dan dirinya.

"Sya, nangis aja sepuasmu. Aku rela dipeluk sama kamu sampe kamu puas, tapi janji sama aku sya. Seberat apapun keputusan ini kamu harus menerimanya, ini bukan suatu keputusan yang aku buat-buat."

Semakin ku per-erat pelukanku padanya, sungguh aku tidak rela Tuhan.  Aku tidak dapat berkata apapun saat ini, aku hanya diam.

Ino mengantarku pulang, saat diperjalanan kami diam tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami berdua. Aku hanya melihat ke arah kaca mobil dengan nanar, masih terlihat jelas bahwa diriku sangat kecewa oleh kejadian ini.

"Lima tahun No" tiga kata lirih yang lepas dari mulutku.

"Sya, aku minta maaf."

"Mama kan udah tahu kita pacaran No, kenapa tiba-tiba kamu dijodohin"

Tangisku kembali pecah, Ino meminggirkan mobilnya lalu memelukku lagi dan menenangkanku.

"Nanti akan aku coba bicara sama Mama ya sayang."

Kalimat itu membuatku agak tenang, walau mungkin bisa jadi itu belum pasti akan berhasil membujuk Mama Ino.

Dear Allah Jagalah HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang