1

12 0 0
                                    

Okay. Saat tahu Matt&Mou mau difilmkan, sontak aja aku teriak (nggak juga, sih. kedengeran alay ajegile). Maksudnya, seneng nggak ketulungan saat novel yang pertama aku baca karangan super beken Wulanfadi difilmkan.

Akhir tahun liburan Pondok 2016, aku di jenguk Abang super-kece dari Malang. Di Jawa Timur, memang banyak saudaraku yang tinggal disana. Jadi nggak heran kalau semisalkan aku, yang aslinya orang Tangerang, di jenguk berkali-kali dalam sebulan.

Saat kali pertama tahu ada Gramedia di Kediri, aku minta keluar bareng Abang dan akhirnya, Pengurus Keamanan mengijinkan. Yap, buru aja aku siap-siap keluar mengenakan seragam dan langsung keluar pondok tanpa banyak cincong.

Dari pondok ke Gramedia Kota Kediri hanya memakan waktu 15 menit kalau naik motor. Maklumlah, kala itu Gojek dan Grab belum ada di Kediri. Dan untungnya, Abang bawa sepeda motor dari Malang seperti biasa.

Sampai disana, aku langsung turun dari motor dan segera menuju lantai dua, dimana Gramedia berada satu gedung bareng alat elektronik. Langsung saja pemandangan buku-buku berjejer  bikin mataku ijo seketika. Aku berkeliling mencari novel seperti biasa, sementara Abangku menuju sisi kanan Gramedia, tempat perlengkapan laptop dan semacamnya.

Awalnya, aku lihat-lihat yang Best-Seller di bagian meja. Nggak ada yang tertarik, aku langsung ngelepir ke bagian Fiction. Rak-rak di awal aku lihat, lah ini dia yang aku cari, Wattpad. Novel-novel Wattpad kebanyakan remaja, aku pilih salah satunya. Dan malah, aku pilih dua jadinya.

Tapi, ada satu yang bikin mataku penasaran. Warna novelnya manis diabetes (okedeh, alay ajegile-nya mulai lagi). Dibagian cover depan, warna gulali pink bercampur ungu bikin mata suka lihatnya. Dan saat aku balik bukunya, ada foto si penulis. Eh, masih remaja? seumuran?!!! Oh masyaAllah... remaja udah nerbitin novel? Lah, aku bisa kapan?! Kagetku kebangeten. Sampai hampir teriak (sebenarnya nggak juga sih. Soalnya aku tahu, dunia Formal dengan Salaf itu sangatlah berbeda. Jadi banyak kesempatan untuk orang lain berkarya di luar. Beda halnya sama salaf. (Ah, udahlah. Ngapain mikirin hal-hal itu. balik ke topik.))

Karena penasaran sama isinya dikarenakan covernya yang super-menarik-perhatian-dihati, aku ambil tuh buku. Yah, lumayan. Dipondok, kertas apapun itu, entah koran bekas nasi pecel, jajan pasar, apapun itu, pasti bakal dibaca. Saking nggak adanya bacaan. Dan mumpung liburan, di perbolehkan novel, majalah, dan lain sebagainya boleh di baca.

"Eh, udah belom?" aku nyengir saat tau ternyata Abang yang nepuk bahuku. "Bentar-bentar." Aku menunjakkan semua buku yang ku ambil. Entah apa saja, aku sedikit lupa saat itu. Abang bilang, "Banyak amat?" aku mengedikkan bahu. Mumpung disini, kapan lagi, kan?

"okedeh, nggak apa." aku bersorak dalam hati. Yass. Akhirnya, setelah aku membayar semuanya di kasir, kami langsung belanja-belanja nggak jelas di swalayan biasanya. Paling nggak sabar pas belanja karena malah keinget novel yang  bikin penasaran sama covernya. Saat itu, mungkin kita tahu istilah 'Don't judge The Book By Cover'. Harusnya, aku sadar itu. Tapi bodo amatlah, ya. Yang penting bagus covernya novel Wulanfadi.

Tapi ternyata, 'Dont' Judge The Book By Cover' sepertinya tidak berlaku untuk buku yang terakhir tadi aku ambil. Soalnya, begitu aku sudah selesai dari 'izin' keluar pondok, di kamar malah  heboh saat tahu aku bawa novel dan lebih parahnya, terbentuklah antrian pinjam bak antri masuk Dufan di hari Minggu.

Berasa Mau Mati Saat Itu Juga.

Why?

Baca kesebelah yak, ;-)

Never MindWhere stories live. Discover now