-permulaan

82 19 11
                                    

***
“...jadi aku melihat betapa mengerikannya nihil...”
***

"Ooh, nyeremin juga," komentar Sherin pada esok harinya. Rayla baru saja menceritakan ulang cerita Si Nihil. Teman teman satu kelas mengerubungi mereka, membuat sesak ruang sempit di belakang kelas.

Sherin memperhatikan wajah teman temannya. Wajah mereka pucat pasi. Seakan ketakutan dan khawatir menjadi satu.

"Se-sebenarnya, ada yang lebih menyeramkan," ucap Hana, gugup. Satu kelas saling lirik.

Rayla sejak tadi menatap jam yang menunjukkan sekarang sudah pukul 06.35 pagi. Dan hampir semua nya sudah berkumpul di dalam kelas.

Suasana menjadi ganjil setelah Hana mengucapkan itu. Tidak ada satu pun yang berani bercerita meskipun Sherin sangat penasaran.

"Akan aku ceritakan," ucap Rayla pada akhirnya. Satu kelas saling lirik.

*kemarin, jam pelajaran ke empat*

"Baiklah anak anak, mari kita mulai pelajaran PKN kita. Tapi sebelum itu, kita akan absen terlebih dahulu,"

Satu kelas saling berpandangan, menyeringai. Sepertinya mereka berpikiran sama.

"Siapa yang tidak masuk?"

"Nihil, bu!!!" satu kelas tertawa. Guru PKN mereka ikut tertawa, melirik papan absen sebelum menulis satu nama, Sherin.

Hingga akhirnya tawa 30 anak itu terhenti. Mereka saling bertatapan. Jelas jelas mereka hanya ber 31–bersama guru mereka– tapi mereka mendengar tawa ke 32. Ada tawa lain yang mengikuti tawa mereka.

Wajah mereka pucat. Guru PKN mereka menyadari hal tersebut. Beliau langsung menatap seluruh sudut kelas dengan tatapan tajam.

"Siapa kau?" ucap guru PKN mereka dengan dingin. Hening, semua diam. Hingga tiba tiba, angin kencang memasuki kelas dan menerbangkan kertas kertas.

Satu kelas ribut. Perlu waktu lama bagi angin kencang itu untuk berhenti. Semua sibuk merapikan kertas kertas milik masing masing yang berceceran setelah angin kencang terhenti.

"I-itu apa?" tunjuk seorang anak. Dia menunjuk ke arah depan kelas. Mata anak anak yang lain mengikuti tunjukkan anak itu. Dan, mereka menemukan satu kertas menempel di papan tulis. Bertuliskan,

Nihil.

Ditulis dengan tinta merah.

Anak anak ribut. Mereka saling berpelukan, ketakutan hingga hampir menangis.

"Tenang anak anak! Tutup mulut kalian dengan tangan masing masing," ucap guru PKN mereka. Semua anak membungkam mulut mereka dengan tangan masing masing.

Guru PKN itu menatap seisi kelas dengan tajam. Hingga tatapan beliau berhenti di meja paling depan, kedua dari pintu–tempat duduk Sherin yang kosong. Bella yang berada disampingnya langsung bergetar ketakutan. Dia menahan tangis.

"Jangan ganggu mereka!" seru guru PKN mereka. Atmosfer kelas segera berubah. Pekat, menyesakkan, entah kata apa lagi yang bisa menggambarkannya.

"Dimana kau? Tunjukkan dirimu!" seru beliau lagi.

BRAK!

Papan tulis kelas bergetar kencang, seakan akan ada yang memukulnya sekuat tenaga. Angin kencang kembali memporak porandakan kelas. Kali ini, angin itu datang disertain dengan tawa yang menggema dan sayatan kuku yang menusuk telinga.

Semua anak refleks mencengkeram baju, tas, rok, lengan teman, apapun itu, untuk menahan teriakan atau tangisan ketakutan yang nyaris keluar.

Hening sejenak.

Mereka saling tatap. Beberapa anak sudah ingin menangis, mata mereka berkaca kaca saking takutnya.

BRAKK!!

Papan tulis bergetar kencang lagi. Tangis Rena pecah. Cepat atau lambat, semakin banyak anak anak yang mengikutinya. Menangis tanpa suara

Pet

Lampu kelas tiba tiba mati. Menyisakan satu cahaya misterius yang entah berasal dari mana, menyoroti bagian kosong di samping papan tulis.

Di cahaya itu...

Mereka melihatnya, jelas sekali.

Nihil, berdiri disana. Menatap seluruh kelas. Tatapan kosong, tanpa bola mata itu menciutkan nyali mereka.

Beberapa anak mencengkeram bajunya lebih kencang, menahan teriakan yang ingin keluar. Bella bahkan nyaris pingsan. Dia yang berada paling dekat dari Nihil.

Nihil berteriak. Suara teriakannya mengerikan. Teriakan kencang, disertai suara kuku yang menyayat membuat mereka benar benar ketakutan.

Semua anak menangis ketakutan tanpa suara.

Nihil berteriak sekali lagi.

Angin kencang kembali menerpa. Kertas kertas berterbangan. Atmosfer kelas semakin tidak enak. Bau anyir tercium, membuat perut mual.

BRAK!

Pintu kelas terbanting, kencang sekali. Kepala sekolah yang kebetulan berada di dekat situ langsung menghampiri kelas mereka.

Beliau sebenarnya hendak menegur mereka. Tapi, saat melihat anak anak menutup mulut dengan wajah pucat, disertai makhluk aneh yang berdiri di depan kelas, beliau tahu ada yang aneh.

Kepala sekolah mendekati nihil secara perlahan. Semua orang menahan napas.

Nihil hanya diam. Hanya saja, aura Nihil semakin menyesakkan, membuat semuanya tidak leluasa menarik napas. Aura Nihil seakan mencengkeram siapapun yang berada di dekatnya.

Tapi Kepala Sekolah tidak peduli.

Beliau tetap mendekati Nihil, secara perlahan dan hati hati.

Hingga saat beliau tinggal dua langkah dari Nihil, meja Sherin langsung terhempas ke arah beliau, membuat beliau terjengkang.

Anak anak menjerit saat Nihil menyerang Kepala Sekolah.

"Pak!!!" tentu saja teriakan itu mengganggu Nihil.

Target Nihil berubah. Anak anak kelas itu lah targetnya.

Perlahan tapi pasti, satu per satu anak anak kelas itu mulai tumbang.

Pingsan.

*sekarang, jam 06.55*

"Aku yang terakhir pingsan. Jadi aku melihat betapa mengerikannya Nihil," ucap Rayla pelan. Matanya berkaca kaca.

"Bagaimana ini? Cerita ku malah menjadi kenyataan," beberapa anak menepuk pundak Rayla, menenangkannya.

"Ini bukan salahmu, Ray," ucap Sherin pelan. Suasana menjadi mengharu biru sejenak sebelum...

BRAK!

Pintu kelas terbuka kencang. Di sana, ada Rena, sedang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mengalir di wajahnya.

Semua anak menoleh, kaget, takut sekaligus khawatir.

Rena melangkah masuk. Saat langkah kedua,

bruk!!

dia terjatuh. Pingsan.

-BERSAMBUNG-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NihilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang