-[ Prolog ]-

50 8 6
                                    

"Aku harus pulang sekarang," kata Nils begitu mendengar dentang bel di kejauhan. Beranjak turun dari ranjang dan memungut kaus serta celana yang betebaran di lantai. Saling bertumpuk di kaki ranjang, kemudian mengenakannya dengan secepat kilat.

"Kenapa mesti buru-buru?" tanya Matteus dengan kening berkerut mengamati Nils yang sibuk mengikat tali sepatu di depan rak sepatu sebelah pintu. "Ayahmu baru akan pulang besok lusa, kan?"

Nils mengangguk. "Kau benar. Tapi bagaimana dengan saudariku? Mereka pasti akan curiga kalau aku pergi semalaman tanpa memberi kabar."

"Besok pagi saja," bujuk Matteus sembari bangkit dari ranjang. Berjalan melintasi ruangan dan memeluk Nils dari belakang. "Lagipula, tidak ada sarana transportasi yang beroperasi selarut ini. Kecuali taksi kalau beruntung, itupun dengan tarif lebih mahal."

Nils menggeliat resah begitu hidung Matteus membenam di kulit lehernya yang putih mulus. "Yeah ... mungkin saja masih bisa mengejar term terakhir kalau aku bergegas sekarang," sangkal Nils sembari membebaskan diri dari sekapan lengan berotot lelaki itu.

Matteus menggeram kecewa sembari memasang wajah cemberut, "Padahal, hari ini merupakan kesempatan kita menikmati malam bersama dalam satu ranjang."

"Mungkin lain kali," sesal Nils sembari menangkup pipi bercambang Matteus dengan kedua tangan, kemudian berjinjit dan mengecup lembut kening lelaki itu. "Sorry, aku belum siap malam ini."

Matteus mengusap rambut ikal pemuda itu dengan penuh kasih, "Aku akan selalu ada di sini, menunggumu."

"Oke. Kalau begitu sampai jumpa entah-kapan," pamit Nils sembari menepis pelan jemari lelaki itu dari sulur rambut keritingnya. "Daah!"

Matteus melambaikan tangan sembari mengamati sosok mungil itu menyusut di kejauhan, kemudian lenyap ditelan anak tangga yang menurun ke lantai dasar gedung motel kumuh itu. Sebelum akhirnya menutup rapat daun pintu.

***

Nils berjalan mengendap-endap melintasi beranda depan rumah bergaya mediterania. Seminimal mungkin tidak menimbulkan suara yang bisa membongkar aksi menyelinap ke rumah malam itu. kerap kali tindakan serupa maling itu mampu menyelamatkan pemuda itu dari setiap kunjungan malamnya tanpa ketahuan.

Begitu tiba di depan pintu ganda berukiran rumit, Nils segera merogoh kantung celana dan mengambil kunci serep di dalam sana. Memasukan ke lubang kunci dengan hati-hati, kemudian memutar pelan anak kunci itu.

Mendesah lega sembari mengelap bulir keringat yang menitik di dahi saat mendengar bunyi samar selot pintu membuka. Jemari Nils gemetar ketika mengenggam kenop tembaga dingin itu kemudian mengayun daun pintu ke arah dalam dengan gerakan lamban.

Keheningan menyambut kala kaki beralas sepatu menapak di ruang tamu. Mata Nils mengejap cepat berusaha beradaptasi dalam ruangan remang itu. Hanya seberkas cahaya redup dari lampu beranda yang menembus gorden tipis ruang tamu dengan dekorasi minimalis itu.

Sekuat tenaga Nils menahan dorongan untuk tidak menekan sakelar lampu. Karena sudah terbiasa menyelinap masuk diam-diam, bukan perkara sulit bagi pemuda mungil itu membaca posisi setiap benda dalam ruangan itu. Berbeda dengan aksi pertama yang hampir menyenggol vas bunga dan membangunkan semua penghuni rumah dengan bunyi keras pecahan tembikar saat membentur lantai marmer.

Sebintik cahaya serupa kunang-kunang berwarna merah menarik mata Nils ke ruang tengah di mana setiap akhir pekan semua anggota keluarga Christeson berkumpul sembari bercengkerama riang. Namun, Nils tidak pernah bisa menikmatinya dengan perasaan yang sama. Berbanding terbalik dengan para saudarinya yang gemar bertukar kisah akan tingkah lucu kekasih mereka yang mengundang gelak tawa bahagia.

Bola mata Nils seakan hendak meloncat keluar dan detak jantungnya memilih pensiun sejenak begitu tanpa sadar telunjuk pemuda itu memencet tombol sakelar lampu. Gelimang cahaya terang menampakan sosok lelaki paruh baya duduk tenang di sofa berlengan bersama seorang wanita duduk di sofa panjang di sebelahnya.

"D-dad...?" panggil Nils dengan suara serak dan gagap. Tidak mengantisipasi akan kejutan mendadak itu. Bagaimana bisa? Papa seharusnya sedang mengadakan rapat penting di luar kota untuk dua hari ke depan!

"Kapan pulang, Dad?" sambung Nils sembari menata ekspresi muka biasa saja ketika lelaki bersetelan kantor itu menoleh ke arahnya dengan sorot mata dingin menusuk. Membuat pemuda itu mengigil ketakutan begitu mata setajam pisau itu mengamati dengan saksama penampilan berantakannya. Nils mengutuk dalam hati kenapa tidak sempat mandi dan merapikan diri sebelum pulang ke rumah tadi.

"Ke mana saja kau baru pulang selarut ini?" tanya Gustaaf sembari menggerus bara api rokok ke asbak. Remasan lembut jemari Runa di pahanya menahan lelaki itu berdiam di tempat. Meredam emosi yang menggelegak siap meledak. "Jangan mengira Papa tidak tahu semua permainan petak umpetmu bersama lelaki udik itu!"

Bibir Nils membuka siap melontarkan bantahan. Namun, kembali menutup begitu tanpa sengaja sudut matanya melihat judul artikel di salah satu kolom surat kabar yang tergeletak di atas meja kaca bening. Dicetak dalam huruf tebal sewarna darah, tampak mencolok di lembaran kertas buram dan lecek itu.

Runa segera mengambil alih keadaan. Lekas beranjak dari sofa panjang dan mendekati Nils yang membisu dengan kepala menekuk di seberang ruangan itu. "Sudah lewat tengah malam, sebaiknya kau lekas tidur. Tidak baik bagi kesehatan kalau keseringan begadang." Runa menasihati sembari mengelus pipi dan mengecup dahi pemuda itu, kemudian menarik lengan Gustaaf yang enggan beranjak pergi.

Sepeninggal mereka, Nils masih bergeming di sana sembari memaku mata ke selembar foto yang tersemat di artikel itu. Menampilkan sesosok dirinya sedang bersandar ke pagar rendah dermaga setinggi pinggang menghadap lelaki bercambang dengan kedua lengan terentang di sisi badan pemuda itu dan bertumpu pada susuran pagar dermaga. Langit biru membentang luas dengan gulungan ombak berkejaran dan pecah membentur batu karang, serta beberapa kapal pesiar tengah berlayar di tengah lautan lepas menjadi latar belakang foto itu.

Beginikah akhirnya...? batin Nils meratap. Dia tidak pernah membayangkan akan ada pemburu berita yang meraup keuntungan dengan menjual kisah gelap rajutan benang asmaranya ke media. Berdampak buruk merusak reputasi dan nama baik kelurga besar Christeson yang merupakan satu dari sepuluh pengusaha terkaya di kota mereka.

Nils merenggut koran itu dan mencabik-cabik lembaran kertas itu menjadi serpihan-serpihan kecil, kemudian membuangnya ke tempat sampah. Nils tahu tidak selamanya mampu menyembunyikan bangkai yang sudah lama membusuk, bahkan beberapa kali kesempatan nyaris terendus. Akan tetapi, bukan seperti ini akhir kisah cinta yang dia harapkan: berakhir di tong sampah.[]


A/N:

Mohon kritik dan sarannya kalo berkenan. Makasih juga udah mampir dan baca, moga suka ^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[B2] FLEE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang