Bab 1

59 6 3
                                    

TENG.. teng ... teng ...
"Ya, kita selesaikan sampai di sini dan jangan lupa pekerjaan ru..."
Ucapan sang ibu guru tak lagi terdengar lantaran riuhnya suara kursi dan derap langkah murid-murid yang berlomba-lomba keluar ruangan kelas lebih dulu. Tak ada seorang pun yang mengacuhkan pesan Bu Betty, sang guru fisika.

Tak terkecuali Mimi. Meski sudah memusatkan segala kecepatan yang dimiliki, tetap saja ia kebagian posisi juru kunci, alias paling belakang dan selalu diserobot teman-temannya.
Sambil menghela napas maklum, Mimi membetulkan letak kacamata minus tujuhnya yang sering merosot akibat dorongan dan desakan-desakan teman-teman yang memburu keluar melewati pintu.

"Hei!" seseorang mencolek bahunya. Mimi menoleh dan tersenyum kikuk.
"Hai, Bella,"  dibalasnya sapaan Bella.
"Mau ke mana? Ke kantin yuk?" ajak Bella manis, bernada bersahabat.
Mimi terdiam sesaat. Seorang gadis cantik, manis, dan cukup populer sedang mengajak seorang anak itik yang dungu dan lamban, batin Mimi. Ya, Bella memang gadis yang baik. Kecantikan dan Kepopulerannya disekolah ini tak menjadikannya sombong. Sementara teman-teman yang lain menganggap Mimi aneh dan enggan menegur, apalagi mengajak Mimi ikutan dalam suatu kegiatan.

"Ayolah," ajak Bella sambil menarik tangan Mimi.
"Kalau kau..."
"Bel... cepetan dong, lama amat sih," panggil Kiki, salah satu garis dalam kelompok Bella. Kelompok yang terkenal lantaran anggotanya terdiri dari gadis-gadis manis dan modis
Lewat tatapan mata Kiki, Mimi dapat merasakan bahwa keikutsertaannya tidak diharapkan dan kehadirannya tak diinginkan oleh anggota kelompok yang lain.
"Aku... eh... lain kali sajalah," tolak Mimi seperti biasanya dengan kikuk dan kepala agak tertunduk-tunduk, tak berani menatap lawan bicaranya.
"Bel, cepet...!" panggil Kiki.
Bella memandang ke arah Mimi dan Kiki bergantian beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti Kiki.
"Bener lho, Mi... lain kalinya?" Bella pura-pura merengut.
Mimi tersenyum lalu mengangguk dan segera berlalu dari hadapan mereka.

Ia lebih suka melewatkan waktu makan siang di perpustakaan atau di taman sambil memakan bekal roti yang dibawanya dari rumah. Baginya kumpul-kumpul dan ngobrol dikantin adalah sesuatu yang hanya membuatnya merasa tidak enak, risi, dan malu. Sebab semua orang akan memperhatikan dirinya begitu ia masuk kesana.
Sambil melangkah Mimi terus memikirkan keadaannya. Bukan ia yang minta menjadi gadis kutu buku berkacamata minus tebal dan berpribadi pemalu, tertutup seperti ini. Entah siapa yang salah... Yang jelas, selama 16 tahun ia telah tumbuh menjadi Mimi yang lamban, kutu buku, tak pandai bergaul, dan punya selera yang aneh dalam memilih penampilan.

Mimi memasuki taman sambil mulai mencari-cari sudut yang lengang dan kursi yang kosong. Sekolah swasta ini dikelola oleh yayasan Katolik, sehingga selain kompleks sekolah, terdapat juga kompleks biarawati. Dan taman ini sebenarnya adalah milik para biarawati itu. Akan tetapi siap saja boleh memasukinya asalkan tidak merusak, bikin kotor, atau bikin onar.
Tak seorang pun nampak ditaman. Tidak juga para biarawati. Mungkin mereka sedang makan siang, pikir Mimi. Lalu memilih sebuah kursi dan duduk di atasnya. Dikeluarkannya catatan kimia yang baru disalinnya kemarin dari buku Profesor A loysius, guru kimia SMA Valentino.

Dan begitu larut dalam cacatan dan pelajaran, Mimi seperti lupa akan segalanya. Tak menghiraukan keadaan sekelilingnya lagi.
Asyik sendiri dengan kumpulan rumus-rumus baku dan rumus-rumus turunan. Kimia adalah salah satu mata pelajaran favoritnya, sementara justru bagi kebanyakan anak-anak lain menjadi musuh utama. Mimi memang selalu aneh dan berbeda dengan kebanyakan anak seusianya. Kalau anak-anak lain lebih suka ke disko, ke toko kaset atau ke kantin, maka Mimi lebih suka ke perpustakaan, toko buku, atau di rumah mendengarkan walkman. Apa yang wajar menurut Mimi ternyata merupakan keanehan bagi teman-temannya.
Karena perbedaan-perbedaan inilah maka Mimi lantas merasa enggan bergaul dengan teman-temannya. Mimi terbiasa sendirian tanpa kawan, apalagi sahabat. Dan lama-kelamaan muncul pula rasa rendah diri apalagi berada di tengah-tengah teman sebayanya.

Teng.. teng... teng
Mimi masih asyik dengan catatan kimianya.
"Ehem... ehem..."
Mimi tersentak mendengar suara seseorang. Ditengadahkannya kepalanya dan dilihatnya sosok bergaun putih-putih berada di hadapannya.
"Suster Christine...,"  desisnya perlahan.
"Ya... saya senang kau rajin belajar Mimi," ujar Suster Christine sambil tersenyum. Para biarawati di sini rata-rata mengenal Mimi, sebab Mimi adalah murid yang paling sering mengunjungi taman mereka.
"Maaf,  Suster... apakah sekarang anak-anak sudah dilarang masuk ke taman ini lagi?" tanya Mimi takut-takut.
"O... tidak," geleng Suster Christine cepat.
"Tapi saya ingin mengingatkan kamu. Rasanya waktu istirahat sudah habis dan kau harus kembali ke kelasmu."
Mimi ternganga. Diliriknya arloji bergambar Mickey Mouse-nya. Suster Christine benar, sekarang sudah jam setengah sepuluh, berarti pelajaran Bahsa Inggris sudah dimulai! Mimi segera membereskan buku-buku dan tempat rotinya.
"Tidakkah kau mendengar suara bel barusan?" Suster Christine tersenyum geli melihat kekikukan Mimi.
Mimi menggeleng.
"Selamat siang, Suster" ujarnya terengah. Lantas secepat kilat Mimi hilang dari pandangan mata, mengejar waktu yang tertinggal untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
***

Book WormTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang