Part 1

3 1 0
                                    

Happy reading~

"Syukurilah setiap hal dalam hidupmu. Sekecil apapun itu. Dan jangan banyak mengeluh. Sekiranya kita dapat mengumpulkan lautan, maka itu pun tidak akan sebanding. Sebab, nikmat-Nya tak terhingga."


***


"Anak-anak, tahun ini sekolah kita akan mengadakan tabligh akbar." Kata sang guru saat pelajaran usai. Ibu Aisyah. Guru pendidikan agama Islam sekaligus wali kelas XI Ipa 2.

"Karena sekolah kita tidak ada anggota rohisnya. Ibu mohon kesediaan kalian untuk ikut berpartisipasi menjadi panitia." Lanjutnya lagi.

"Maaf, bu. Kenapa bukan kelas XII saja yang jadi panitia?"
"Iya, bu. Merekakan kakak kelas."
"Iya, bu. Betul."
"Iya, bu. Kelas XII aja."

Kelas yang tadinya hening, kini riuh. Dengan pendapat-pendapat para siswa. Menyuarakan protes.

"Tenang, tenang." Sang guru bersuara.
"Justru karena kalian baru kelas XI, belum disibukkan dengan persiapan ujian seperti kakak kelas kalian. Lagi pula ini kesempatan untuk kalian belajar menjadi panitia sebuah kegiatan." Lanjutnya lagi.

"Maaf, bu. Apakah itu dinilai?" Tanya gadis berkacamata.
"Iya. Siapa yang jadi panitia akan mendapat nilai plus untuk mapel* Pendidikan Agama. Bagaimana, ada yang mau?" Tanya sang guru lagi.

"Aku mau, bu."
"Aku juga."
"Saya juga mau."
Dan seketika, kelas pun riuh kembali. Mendengar penuturan sang guru.

"Tenang. Baiklah ketua kelas, catat nama teman-temamu yang ingin mendaftar." Ucap sang guru kepada Ridho, sang ketua kelas XI tersebut.

"Dan juga yang ingin ikut. Harus mau bekerjasama. Ok?" Lanjutnya lagi.
"Ok, bu. Siap." Jawab para siswa tersebut.
"Kami mah jagonya kerjasama, bu. Iya kan teman-teman?" Celetuk salah satu siswa. Rahmat. Siswa yang paling gemuk di kelasnya.
"Hah?"
"Iya, bu." Jawab siswa yang di duduk sampingnya.
Sontak mereka pun memenpat tatapan melotot dari teman-temanya.

"Maksudnya, kerjasama seperti gotong royong saat baksos, bu. Benar kan teman-teman?" Sang ketua kelas pun segera menyelah.

"Iya, bu. Benar." Jawab para siswa sembari menghela napas lega.

"Oh, gitu. Bagus. Ditingkatkan, ya." Ucap sang guru.

"Ok, bu."

"Kalau begitu. Ibu keluar dulu. Assalamu'alaikum warahmatullah. Dan selamat siang, anak-anak" Pamit ibu Aisyah.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Siang, bu" Jawab mereka serentak.

Sepeninggalan Ibu Aisyah, kelas pun riuh kembali.

"Eh, Rahmat. Kalau ngomong tuh, hati-hati. Tadi hampir saja ibu Aisyah curiga. Huft." Ucap Cici. Gadis berkerudung instan.

"Iya, nih. Rahmat." Sahut Riko. Teman sebangku Rahmat.

"Eh, kamu juga ya, Rik. Ngapain mengiyakan tadi?" Sembur Alia. Sang sekretaris kelas.

"Hehe, maaf." Ucap Rahmat dan Riko hanya menyengir.

"Untung Ridho bisa ngalihin. Kalau tidak. Habislah kita." Ucap Arsel. Si gadis tomboy. Yang di-iya-kan penghuni kelas.

Ibu Aisyah. Walau cantik dan kelihatan lemah lembut. Beliau juga sangat tegas. Kalau ketahuan nyontek. Siswanya akan diberikan hukuman yang tak tanggung-tanggung. Katanya agar mereka jera dan tidak mengulanginya lagi.

"Sudah, sudah." Ridho menyelah.
"Sekarang siapa nih yang mau ikutan jadi panitia tabligh akbar?" Tanyanya kepada teman-temannya.

"Aku mau." Jawab Cici. Lalu menulis namanya di kertas yang disodorkan Ridho.

"Eh, Alia, Fāthimah. Kalian ikut juga, ya. Aku udah tulis nama kalian." Ujarnya lagi.

"Iih, Cici. Kebiasaan deh. Nulis nama orang tanpa persetujuan." Ujar Fāthimah.

"Udah terlanjur. Nggak bisa dihapus lagi. Hehe." Ucap Cici dihiasi cengiran.
"Lagian kalau nanya kamu dulu, bakal lama. Kamu kan mikirnya lama banget. Iya, kan Lia?" Ujarnya lagi.
"Iya, tuh." Jawab Alia.

"Eh, Ci. Tulisin nama aku juga, dong." Ujar Rahmat.
"Aku juga." Ujar Riko juga.

"Memangnya kalian bisa?"
"Iya, dong. Apalagi pasti nanti ada nasi kotaknya." Ujar Rahmat lagi.
"Yap. Betul tuh, Mat." Riko pun menyahuti.

Dan hal itu membuat seisi kelas mensoraki mereka.

"Huuh. Kalian, ya. Kalau udah menyangkut nasi kotak pasti semangat." Ujar Arsel.

"Iya, dong. Kan lumayan, makan gratis, kita. Haha."

"Kenapa nggak sekalian buat slogan 'Nasi kotak, penyemangatku' siapa tahu ada yang ingin mensponsori?" Ujar Alia. Seisi kelas pun riuh kembali.

"Ide bagus, tuh." Riko menyahuti. Dan mendapat lemparan kertas dari Cici.

"Sudah. Sekarang siapa lagi? Tulis saja nama kalian di kertas itu, ya. Dan nanti taruh di atas mejaku." Ujar Ridho menengahi. Lalu ia keluar kelas karena sudah memasuki jam istirahat.

"Eh, kita istirahat juga, yuk." Ajak Cici kepada teman-temannya.

"Iya. Kalian bawa bekal kan? Kita makan di sini aja. Bagaimana?" Tanya Fāthimah.

"Iya. Kita makan di sini aja. Soalnya kantin udah rame kalau jam segini." Alia pun menyahuti.

"Ok. Baiklah." Sahut Cici.

Hampir seluruh penghuni kelas XI Ipa 2 memang lebih sering membawa bekal. Ketimbang jajan di kantin sekolah. Terutama siswinya, kalau siswanya biasanya hanya mengikut makan. Katanya biar lebih hemat.

"Eh. Teman-teman sini, kita makan bareng." Ajak Fāthimah sembari melambaikan tangannya.

"Makasih, Fat. Tapi kami akan ke kantin aja." Sahut Nisa. Teman sekelasnya.

"Ya, udah. Hati-hati, Nis."
"Eh, Arsel. Kamu ngapain? Sini makan siang dulu." Tanya Alia yang berhadapan dengan Arsel.

"Ini aku ambil bekal dulu. Sebentar."
"Ok. Sekarang kita makan." Seru Cici yang kelihatan sudah lapar.

"Jangan lupa berdo'a, Ci." Ingat Fāthimah kepada teman-temannya. Khususnya Cici yang sering lupa jika sudah dihadapkan dengan makanan, apalagi jika sudah lapar. Dan hanya ditanggapi cengiran oleh gadis cantik itu.

Mereka pun makan dengan hikmat. Sesekali diselingi dengan canda dan gerutuan Cici atas ulah Arsel. Si gadis tomboy yang suka mengambil bekalnya tanpa permisi. Hingga mendapat ceramah singkat dari Alia dan Fāthimah.

Tapi, begitulah cara mereka berinteraksi. Agar persahabatan mereka tetap terjalin.

"Alhamdulillah. Fa bi ayyi ālā i rabbikumā tukażżibān?" Ucap Alia sembari menutup tempat bekalnya yang kosong.

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan, Ci?" Arsel pun ikut menyahuti sembari mengutip terjemahan ayat yang diucapkan Alia.

"Alhamdulillah. Nggak ada lah." Sahut Cici.

Ya, kebiasaan selesai makan pasti mereka akan mengutip ayat QS. Ar-Rahman tersebut. Sebagai pengingat agar tidak lupa untuk selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh sang Pencipta.

Karena memang, kadang manusia lebih banyak mengeluh. Menghadapi kesusahan sedikit saja, mengeluh. Lupa bahwa ada banyak hal yang patut syukuri. Dari hal yang kecil hingga hal yang besar.

Bahkan ada yang mengeluh atas nikmat yang Allah berikan. Contohnya saja apabila matahari terik, mengeluh. Katanya panas. Dan apabila bila diturunkan hujan, ia pun mengeluh. Katanya hujan terus, jalanan becek.

Mereka tidak memikirkan bagaimana jika tidak terik matahari? Atau bagaimana jika hujan tidak turun? Pasti akan sengsara. Padahal itu semua adalah salah satu nikmat yang harus kita syukuri. Dan karunia yang Allah berikan itu tidak bisa kita hitung jumlahnya.

to be continue....

====

Jangan lupa juga vote+comentnya


"Jangan lupa baca Al-Qur'an, ya. Sebab, itulah sebaik-baiknya bacaan"
-Sari-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FāthimahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang