Prolog

18 0 0
                                    

Berteman?

****

Aku menatap langit-langit kamar, memikirkan apa yang dikatakan Alya hampir membuatku ingin menghilang saja. Sebegitu sulitnya kah aku lepas dari bayang-bayang 3 tahun lalu?

Mati rasa? Sungguh? Benarkah? Ah, enggak enggak!

Aku menggeleng keras mengingat kalimat demi kalimat Alya di kantin kampus tadi. Aku bahkan hampir memuntahkan mie goreng favoritku karena ucapannya. Mana bisa? Hah, tidak mungkin.

***

"Cha, lo beneran gak mau punya cowok?" Pertanyaan itu sukses membuatku tersedak. Aku melotot tajam ke arah Alya yang duduk di hadapanku dengan tatapan tanpa dosa, yang lebih ke tatapan meledek.

"Gila, pertanyaan lo nggak jelas!" Jawabku ketus. Alya menggebrak meja kemudian, gadis ini memang suka berlebihan jadi aku tak kaget dengan itu. Aku masih sibuk dengan mie goreng dan membiarkan Alya melakukan apapun yang dia mau.

"Jangan bilang gara-gara kejadian tiga tahun lalu lo jadi gak mau kenal cowok lagi, Cha, gak mungkin kan?" Alya nampak penasaran dan aku hanya mengangguk santai sebagai jawaban.

"Cha, lo udah gila!" Alya meletakkan tangannya di keningku, berlagak me-ruqyah mungkin?

"Lo yang gila, Alya. Kenapa sih kaya baru kenal gue setahun dua tahun aja lo kaget begitu." Aku menepis tangan Alya dan mencoba meluruskan pemikiran gilanya.

"Gue cuma lagi gak kepikiran cari cowok aja, Al, gak lebih."

"Cha, lo gak mati rasa kan?" Pertanyaan itu sukses membuatku menghentikan aktifitas memasukkan suapan terakhir mie goreng ku. Mengapa pula pertanyaan macam itu muncul saat di suapan terakhir? Alya, sialan!

"Cha, jawab gue, enggak kan?" Tanya Alya sembari bangun dari duduknya dan menangkup kedua pipiku. Sumpah, siapapun kalian yang bertemu dengan orang macam Alya, jangan pernah terkejut. Gadis itu memang seperti itu, selalu bertingkah berlebihan dan tak tahu tempat, termasuk tak tahu kalau sekarang sedang di kantin dan banyak orang.

"Ya menurut lo aja gimana." Aku langsung berdiri dan membayar mie goreng yang tadi ku pesan, atau mungkin menghindari pertanyaan Alya? Pilihan kedua lebih masuk akal.

***

Dan sekarang disinilah aku, di kamar dan menatap kosong ke arah langit-langitnya. Memikirkan kembali ucapan Alya yang mengatakan aku mati rasa? Rasa seperti apa yang disebutnya mati? Bukankah jika aku mati rasa maka aku juga tidak akan merasa kasihan pada apapun, tidak menaruh simpati pada apapun? Aku kembali terdiam, mungkin iya tapi aku yang tidak menyadarinya.

Aku bukan tipe orang yang akan menyiksa diri dengan terus memikirkan hal yang nantinya membuatku sakit hati. Jadi, ku putuskan untuk membaca novel yang belum sempat dilanjutkan karena tugas yang tidak hentinya datang. Ya, hari ini adalah ujian terakhir dan setelah ini libur panjang akan menjadi teman favorit ku.

Aku meraih novel yang ada di dalam rak buku, tapi tiba-tiba saja mataku beralih ke kotak biru dongker disebelahnya. Aku tersenyum melihat kotak itu masih sempurna di sana, tidak pindah sedikitpun. Karena aku sudah melihatnya jadilah aku mengambil kotak itu dan membukanya.

Frame kacamata berwarna cokelat tua ada di dalam sana, lagi-lagi aku tersenyum. Kembali mengingat bagaimana aku mendapatkan kacamata ini dan siapa yang memberikannya membuat hatiku mengembang bahagia. Bolehkah aku mengatakannya?

Kacamata itu pemberian dari Raka 3 tahun yang lalu, saat usiaku 16 tahun dan pertama kalinya harus memakai kacamata karena minus. Raka memberikan kacamata itu tepat setelah mengantarku memeriksa kondisi mataku bersama Bunda. Itu kacamata pertamaku sekaligus pemberian terakhir darinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnalogiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang