01 🎵

207 37 6
                                    


Siapa yang paling sakit di sini?
yang  kamu anggap si dia berharga
atau si dia yang menganggap kamu berharga?

Hari itu adalah hari rabu, pekerjaanku menumpuk. Melihatnya membuat aku malas. Kenapa bekerja mencari uang sesusah ini? se melelahkan ini? Kalau bukan karena tuntutan hidup aku memilih untuk liburan menikmati hidup dan mengarang sebuah cerita. Siapa tau dapat terbit dan aku mendapat uang dari hobi yang aku senangi.

Sialnya, saat itu badanku sedang berperang melawan virus. Lebih sialnya lagi pagi ini ada meeting yang membuatku tidak bisa meliburkan diri. Paling tidak sampai makan siang, setelahnya aku bisa ijin pulang. Tapi tetap saja menyebalkan.

"Gue ntar ijin pulang duluan Des," aku mengurut pelipisku. "Kenapa Bul? lagi dapet? maag lo kambuh?" aku menggeleng lemah. Rasanya aku ingin mengeluarkan semua sarapanku dipagi ini.

"Pusing Des, gak enak badan gue."

Desi merogoh tasnya, saat itu aku pikir dia akan mengeluarkan minyak kayu putih. Tapi aku salah, dia mengeluarkan telpon genggamnya. Aku melihat dia mengetik, setelahnya aku menyesal tidak merebut kotak kecil pipih sialan itu.

"Gue kabarin Saga kalo lo sakit, katanya sih dua puluh menitan dia udah sampai sini." Desi benar-benar sahabat yang terkadang menjengkelkan.

"Ya ampun Des, harus berapa kali gue mohon ke elo sih supaya kalau ada apa apa tuh jangan hubungi Saga!" sentakku saat itu. Bagaimana aku gak marah dan sebal? Aku gak mau menjadi wanita yang begantung pada 'pasangannya' seperti wanita kebanyakan.

Tidak ada yang boleh memanggilnya Kai selain aku. Mereka semua memanggi dia Saga, nama depannya. Tapi bagiku untukku untukknya, Kai adalah nama khusus untuknya dariku seorang. Nama yang ku panggil saat tidak ada orang yang kami kenal. Aku tidak mau mereka meniru panggilanku. Ini harus dirahasiakan oleh para gadis di kantor, dan para lelaki bermulut gadis seperti Gibran. Mereka menyukai gosip panas.

Belum lagi masalah Kai selesai, si kutu kupret Gibran datang membuat rusuh. Gayanya yang terlihat tengil membuat pusing dikepalaku bertambah.

Gibran duduk disebelah kursi kananku. Ujung telunjuknnya menyentuh dahiku. Kemudian mendorongnya pelan kebelakang, "apa-apaan sih Gi! gak sopan lo noyor gue!" sentakku saat itu. Kepalaku nyut nyutan. Pusing sekali rasanya. Gibran brengsek. "Oh..lo sakit beneran Lan? kirain ekting kayak biasanya." sindir Gibran.

"Hidup lo kan fake Lan, gue aja gak bisa bedain mana asli mana bohongan." Gibran menyindir lagi. "Pergi Gi gue males ketemu lo. Pergi lo sana," gumamku saat itu. Gibran benar-benar membuatku geram. Bibirnya inginku jimpit menggunakan tang hingga lepas.

Gibran tidak juga pergi, "gak gue mau liat drama live hari ini."

"Gue mau liat si dingin dan si fake, pasangan konyol sepanjang masa lagi eksyen ntar."

Aku menenggelamkan kepalaku di antara lengan lenganku. Aku gak mau melihat muka menyebalkan Gibran, monyet tukang olok. Beberapa menit kemudian aku merasakan pundakku di sentuh pelan tapi tidak lembut. Hanya pelan saja.

"Oh?" aku melihat ke atas, tatapan dingin Kai menyapaku. "Sakit?" dia bertanya dan aku masih terdiam. Punggung tangannya yang dingin menyapa dahiku. Perlakuannya seperti suatu tanda perhatian, tapi matanya tidak berkata seperti itu. Dua manik hitam legam itu tidak mencerminkan kekhawatiran yang aku inginkan. Di kegelapan itu hanya ada ruang kosong yang aku sendiri tidak bisa menempatinya. Belum bisa, tapi suatu saat pasti bisa.

"Pulang," katanya.

"Ambil tas dan jaket kamu, kita pulang sekarang." Aku berdecak sebal.

"Iya, aku-" belum juga sempat menyelasaikan kalimatku, si dingin itu sudah beranjak pergi. "Aku tunggu di mobil." Si dinggin benar-benar pergi. Ya..pergi begitu saja, dan meninggalkan aku ditertawan monyet keparat itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Missing LyricTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang