1. Aku dan rombongan angsa

64 5 1
                                    

Hidup didesa tidak membuatku menjadi pemberani untuk apapun, contoh kecilnya, aku sangat takut dengan ulat, apapun bentuknya, kata orang ulat cengkih dan ulat dari pohon jeruk itu cantik, menurutku yang namanya ulat sama sekali tidak ada cantik-cantiknya, karena semuanya bila bertatapan denganku sama menakutkannya.

Selain itu aku juga sangat tidak menyukai binatang bermoncong panjang, seperti bebek, itik, apalagi angsa, dan apabila aku terpaksa harus bertemu, dan bertatap-tatapan dengan sekor angsa, itik atau bebek entah kenapa moncongnya yang panjang, selalu membuatku berpikir buruk, bahwa pada suatu kali mereka akan mengejar aku untuk menggigit dengan moncongnya yang panjang itu.

Pada saat itu, aku masih seorang anak SD yang sangat mungil dan menggemaskan (jangan muntah).

Namanya SD di kampung ya, jadi berangkat dan pulang sudah hukum alam untuk jalan kaki, apalagi pada masa itu, kendaraan apapun masih menjadi barang mewah dan langka (kebayang kan bagaimana kondisi kampungku pada masa itu?).

Sepulang sekolah, setelah berpisah dengan rombongan teman-temanku, untuk menuju rumahku, aku sengaja lewat ke jalan gang sempitnya Wak Asih, karena kalau aku lewat bawah lewat jalan Mak Tijah aku takut ketemu dengan geromobolan soang (angsa) yang emang menjadikan halaman rumah Mak Tijah sebagai tempat nongkrong mereka. Setelah melewati jalan tanah, turun melewati undakan licin, untuk bisa menyeberangi kali kecil menuju rumahku yang berada diseberang kali kecil itu.

Posisi rumah aku strategis walaupun sangat jauh dari jalan raya, dan agak jauh dari tetangga, tapi bila malam tiba, suara ramai katak bernyanyi akan terdengar riang menjadi lulabi tidur lelapku.

Saat aku sudah menuruni undakan tangga dan bersiap menyeberangi jembatan bamboo yang dianyam, dari arah berlawanan lebih tepatnya dari rumah Mak Tijah, dan Wak Amir datang serombongan angsa, yang sangat cantik, putih dan menggemaskan.

Melihat mereka datang rombongan dari arah berlawanan dengan tatapan yang sangat tajam, membuatku merinding...

Tes... tes... tes...

Dan akhirnya di jembatan kami berhadapan.

Suara riang mereka terdengar begitu suka cita.

Keringat tanpa aku sadari mulai membasahi tubuhku, pelan melangkah mundur, kembali lagi menaiki undakan, dengan tatapan waspada melihat mereka yang menatapku tajam, dan penuh perhitungan, saking konsentrasinya aku menatap mereka, hingga akhirnya, kakiku yang menapak, tidak menyentuh tempat yang semestinya, dan akhirnya...

Burrrrrr....

Aku jatuh ke kali saudara-saudara... dan tahukan kalian, apa yang dilakukan oleh para angsa cantik itu, mereka tidak menolongku, hanya suaranya yang ramai seolah menertawakan kejadian ini.

Ya Tuhan, sampai detik ini pun aku masih sangat dendam dengan angsa cantik itu.

Tangerang, 24 April 2019

The Journey Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang