2. Mengejar Capung

25 3 0
                                    

Pada masa itu, dikampungku masih ditanami padi tinggi, yang dipanennya menggunakan etem (ada yang nyebutnya ani-ani, atau ketam yaitu seperti pisau kecil yang tajam yang dipakai untuk panen padi), hingga batang-batang padinya masih tumbuh dengan tinggi dan membuat kami leluasa bermain petak umpet, bersembunyi menggunakan media batang padi tinggi itu, atau hanya mengejar-ngejar capung atau belalang.

Dan itu dilakukan setiap sore setelah pulang sekolah agama dikampungku, dari mulai jam 16.00 sampai waktu magrib, semua anak kampng tidak akan ada di rumahnya, apalagi pada masa itu belum musim tv, jadi bisa dipastikan semua anak berada diluar rumah dan tidak ada yang mendekam didalam rumah, kami riang bercengkrama.

Partner in crime kalau bahasa anak jaman now, terdiri dari seorang anak laki-laki bernama Pian, dan banyak anak perempuan, aku, adikku Lily, Enoy, Dede, dan lain sebagainya. Rata-rata usia mereka beberapa tahun diatasku, tapi lagi-lagi karena kami anak kampung, walaupun usia mereka lebih tua, tapi aku dan adikkulah yang sudah sekolah kelas tinggi, mereka rata-rata baru kelas 2 dan 3 sedangkan aku kelas 4 dan adikku kelas 1 SD.

"Hai Gy...," teriak temanku yang bernama Pian.

Pian ini laki-laki paling ganteng di rombongan bermainku, ia yang bisa memasak saat kamu sedang main masak-masakan (di chapter nanti akan aku ceritakan seperti apa sosok Pian ini), dan yang pasti ia yang paling membela kami saat ada yang jail kepada kami, dan yang pasti ia yang paling depan berdiri dan memberi ide saat kami sedang iseng untuk bermain.

"Apa..."

"Cepetan! Udah ditungguin di sawah untuk mengejar capung!" jawabnya sambil menarik tanganku, dan aku juga sama menarik tangan adikku yang berjalan dibelakangku.

Walaupun aku tahu, di pintu dapur Mamah sudah hampir membuka mulut untuk meneriakiku untuk tidak main dengan tidak tahu waktu.

Disawah, rombongan bermainku sudah berkumpul bergerombol, dan melihat kepala suku (Pian) datang, akhirnya kami bermain, tawa riang seolah lupa waktu dan tempat, hingga akhirnya waktu magrib akan segera tiba, walaupun capung yang akan kami tangkap tidak bisa kami dapatkan.

Tapi tawa bahagia inilah yang mahal harganya.

Lelah bermain, akhirnya dengan komando Pian juga, kami semua meluncur ke kali kecil (TKP tempat aku kejebur saat ketemu angsa), untuk mandi sore, padahal tadi sebelum berangkat untuk main di sawah pun aku sudah mandi.

Dan saat pulang dengan kondisi basah kuyup, tangan dan kaki baret-baret kegores oleh daun padi yang tajam, belum dengan rasa gatal dari bulu-bulu padi, sampai didepan pintu dapur Mama sudah berdiri didepan pintu siap menghardik kami, yang bermain tidak tau waktu.

"Darimana kalian?"

"Main Ma," tanpa dosa, langsung masuk ke dalam rumah, dan bersiap berangkat mengaji ke surau kecil tidak jauh dari rumah kami.

Dulu saat kita kecil, kita tidak tahu bahwa hardikan orang tua kitapada saat itu, wujud rasa sayang dan khawatirnya beliau untuk kita.


Tangerang, 25 April 2019

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Journey Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang