Debur ombak menyapa keheningan bersama dengan dedaunan kelapa yang saling berkonfrontasi kala diterpa pawana. Sepoi lembut berhembus mengenai kulit Seokjin, melambaikan anak-anak surainya perlahan. Pasir putih dibawah kakinya yang tanpa alas terasa lembut. Dirgantara yang semula cerah pelan-pelan ditelan gelita. Arakan mega yang semula seputih kapas berubah jingga dan keunguan. Baskara telah tenggelam di ufuk barat beberapa saat yang lalu, memberi waktu bagi para asterik memancarkan kilaunya.
Suara canda tawa keenam kawannya menjadi latar belakang hati yang kini diluapi ketenangan. Petang ini, mereka bertujuh yang tengah menikmati angkasa, bersinar lebih terang dari kejora.
Gelak lepas teman-temannya itu, merupakan sesuatu yang akhirnya terdengar setelah sekian lama. Sudah berapa lama? Seokjin terlalu letih untuk menghitungnya. Tapi sudahlah, itu semua hanyalah kepingan masa lalu yang lebih baik luruh bersama guliran waktu. Seokjin tidak tahu hingga kapan kebahagiaan ini akan berlangsung. Ia tidak akan pernah tahu jika badai akan kembali datang dan mengurung mereka dalam pusarannya. Tapi seharusnya, Itu tidak akan terjadi.
Lebih baik sekarang Ia memusatkan pikirannya pada saat ini. Kenyataan bahwa mereka kini dapat tertawa. Mereka kini telah bahagia. Dan mereka akhirnya dapat bersama.
Mimpi Seokjin yang datang terlambat kini terwujud sudah.
"Akan lebih baik jika Seokjin Hyung ada bersama kita malam ini." Itu Jimin yang berbicara. Dan teman-temannya yang lain pun menggumam mengiyakan.
"Seokjin Hyung pasti telah menjadi salah satu bintang di atas sana." Namjoon menimpali.
Diam-diam, Seokjin tertawa.
Bintang, memang. Ia telah menjadi bintang yang rela jatuh untuk mengabulkan kebahagiaan keenam yang lain.
"Seokjin Hyung, kami merindukanmu." Taehyung berseru.
Seokjin tak apa meski Ia harus berkorban.
Paling tidak, sekarang Ia dapat mengawasi mereka dengan lebih jelas, selamanya.
