Hujan deras mengguyur Kota Padang siang itu. Di sebuah pos kamling kecil di sudut sebuah jalan, sepasang remaja berseragam putih abu-abu tengah berteduh. Mereka berdua duduk berdampingan di pos yang terbuat dari papan-papan kayu. Sebuah motor tua berada tak jauh dari mereka dibiarkan hujan mengguyurnya. Keduanya sudah basah kuyup sedari tadi. Si perempuan menggigil memeluk tas ransel hitamnya. Si laki-laki melepas jaket yang dikenakannya. Jaket itu diberikan kepada perempuan yang menggigil.
"Wi, nih pakai dulu jaketku."
"Jaketmu basah nanti aku masuk angin, Van."
"Cerewet, ini tidak terlalu basah kok, lebih baik dari pada gak pakai jaket ‘kan?"
Si perempuan yang dipanggil Wi itu tertawa kemudian mengenakan jaket yang diberikan oleh Vanno. Terbesit perasaan bersalah dibenak Dewi. Ia yang meminta Vanno untuk mengantarkannya berangkat les siang itu sepulang sekolah. Meskipun Vanno tidak keberatan, tapi kalau saja dia berangkat sendiri, pasti Vanno tidak kehujanan seperti ini.
"Van ... maaf ya, udah ngerepotin kamu ... jadi kehujanan gini deh kita."
"Maaf apa sih ... enggak apa-apa kok Wi, santai aja. Cuma nganter gini doang."
"Kalau begitu nanti sekalian jemput pas pulang les ya, Van."
"Jiah ... kalo itu baru namanya ngerepotin, hahaha." Vanno tertawa-tawa sambil menjewer telinga Dewi.
Dewi ikut tertawa. Keduanya tertawa keras meski suara hujan menenggelamkan suara mereka.
"Kamu, sepupu aku paling baik Van," kata Dewi tiba-tiba.
Vanno pun tersenyum sejenak sebelum akhirnya ia menjawab.
"Kamu juga Wi! Tos dulu dong.!"
Tangan basah dan pucat mereka terangkat lalu bertemu di udara menimbulkan suara tepukan keras. Diiringi suara tawa renyah mereka lagi. Mata mereka beradu pandang. Tak lama lalu membuang muka. Salah tingkah. Lalu keduanya terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. Menatap hujan yang semakin lebat di hadapan mereka yang belum juga ada tanda-tanda akan berhenti.
Hujan sengaja, ia membiarkan kedua remaja itu berteduh satu atap untuk waktu yang cukup lama. Sebenarnya degup jantung mereka saling menyimpan perasaan cinta. Tapi mereka masih malu menunjukkan perasaan, mengingat status sepupu di antara mereka. Hujan berhenti, membiarkan mereka melanjutkan perjalanan. Mungkin bukan hari ini perasaan itu terungkap.
Siang itu sepulang sekolah, ketika baru saja keluar dari ruang kelas 2-1. Anggita, menarik dan menyeretku ke kelas 2-2. Tarikkanya kuat, terpaksa aku setengah berlari mengikuti si kunyuk ini. Omelan dan cercaan tak digubrisnya. Ia seperti tak sabar menunjukkan sesuatu. Sesampainya di depan kelas 2-2 ia menunjuk laki-laki yang tengah duduk berbicara dengan temannya. Tunggu, itu bukannya Gevanno, sepupuku.
"Wi, lihat yang bicara sama Reno, itu dia yang aku ceritain kemarin. Namanya Gevanno," jelas Gita, seolah tahu pertanyaan dalam kepalaku.
"Eh, tunggu deh Git. Gevanno itu sepupu aku."
"Iya, aku tahu kok, makanya aku mau titip salam dari buat dia. Sampaiin, ya."
"Hahahaha iya, jadi sekarang kamu lagi PDKT sama dia, nih?"