Laut Sitangis
Konon pada zaman dahulu, ada sebuah pulau yang damai. Mata pencaharian penduduk pulau tersebut kebanyakan petani dan nelayan. Penduduk pulau rajin bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarga mereka. Pulau itu bernama pulang Saur.
Di pulau Saur hiduplah seorang pemuda yang gagah dan rajin bekerja, pemuda itu adalah anak tunggal dari pasangan Daeng Manjakari dan Daeng Assifa. Pemuda tersebut bernama Daeng Puan. Daeng Puan adalah asli keturunan dari suku Bajo, Daeng Puan sangat pandai dalam hal bertani, dari kegagahan dan kepandaiannya, Daeng Puan menjadi idaman para wanita di pulau tersebut. Di pulau Saur pula hiduplah seorang gadis cantik bernama Ayuni. Ayuni kekasih Daeng Puan, mereka berdua saling mengasihi satu sama lain.
Daeng Puan adalah orang terpandang di pulau itu berbeda dengan Ayuni yang hanya penduduk pulau biasa, Ayuni tingal bersama ibunya karena bapaknya telah meninggal dunia sejak Ayuni masih umur 5 tahun dan bukan merupakan keturunan daeng. Hal itulah yang menjadi penghalang hubungan mereka.
Pada sore hari terjadi perbincangan antara Daeng Puan dengan kedua orang tuanya.
”Daeng Puan putraku, engkau adalah satu-satunya penerus keturunanku, Daeng dan ammakmu sangat berharap di usia tua ini bisa melihatmu bahagia bersama dengan istri dan anakmu” kata Daeng Manjakarai, sambil menatap putranya dengan serius.
“Ammak dengan Daeng mu berencana untuk menikahkanmu dengan putri Daeng Rafia sepupu Daengmu di Pulau Sadulang” melanjutkan perkataan suaminya.
bagaimana denganmu wahai putraku, Daeng rasa putri Daeng Rafia gadis yang sangat pas denganmu untuk kau kau jadikan istri” lanjut sang daeng.
Mendengar perkataan orang tuanya Daeng Puan hanya mampu menundukkan kepala, dalam hati ia sangat sayang akan kekasihnya dan sangat berharap bisa hidup dengan Ayuni yang ia impikan selama ini, namun ia juga tak kuasa menolak permintaan kedua orang tuanya yang sangat ia hormati.
Jikalau itu yang membuat Daeng dan Ammak bahagia saya akan melaksanakannya” jawab daeng puan sambil menundukkan kepala.
Dengan berat hati Daeng Puan menyetujui perjodohan itu, tanpa memikirkan siapa yang akan tersakiti sebab perjodohan itu, sesekali ia berusaha menatap keatas karena takut air matanya terjatuh pada saat itu.
“baiklah putraku, besok Daeng akan mengirimkan orang untuk melamar putri Daeng Rafia, semoga ini yang terbaik untukmu dari Allah. putraku, engkau telah berbakti pada orang tuamu” lanjut Daeng Puan sambil menatap putranya.
Mendengar perkataan Daengnya, Daeng Puan sedikit merasa lega bisa menuruti perkataan orang tuanya dengan harapan bisa membuat mereka bangga, namun di dalam hatinya masih terpikirkan gadis yang selama ini ia cintai.
Seperti rutinitas setiap harinya Daeng Puan pergi kesawah, namun kali ini hati Daeng Puan tidak lagi sesemangat seperti hari sebelumnya dalam hatinya ia berfikir bagaimana nasib Ayuni jika tau kabar perjodohan itu. Daeng Puan berusaha mencari waktu untuk dapat bertemu dengan Ayuni dan ingin menjelaskan perjodohan itu. Pada hari itu pula keluarga Daeng Puan sudah berkumpul untuk pergi ke Pulau Sadulang untuk melamar Putri Daeng Rafiah. Pada saat itu pula Daeng Puan pergi ke rumah Ayuni untuk bertemu dengannya.
:”Ayuni” sapa Daeng Puan dengan lemas
“ia daeng” jawab Ayuni
“saya ingin bicara” lanjut daeng Puan sambil menatap Ayuni.
“ada apa daeng?” tanya Ayuni penasaran.
Engkau tau? Aku sangat menyayangimu, namun ketahuilah aku tak bisa membantah orang tuaku” jelas Daeng Puan yang hendak meneteskan air mata.
“kenapa Daeng” tanya Ayuni kembali sambil menatap Daeng Puan.
“Daengku menjodohkanku dengan Putri Sepunya yang ada di Pulau Sadulang, dan hari ini anggota keluarga sudah berangkat ke Sadulang untuk melamar, percayalah Ayuni ini bukan karena cinta mendua, tapi...ketahuilah aku juga sakit karena perjodohan ini” berusaha menahan air mata.
Ayuni terdiam, menarik nafas panjang lalu meneteskan air mata dan berkata ”apa hendak kita perbuat Daeng ini sudah takdir dari Ilahi, jikalau ini yang terbaik saya ikhlas daeng” memalingkan wajah dari Daeng Puan.
Ayuni melangkahkan kaki pergi meninggalkan Daeng Puan, Daeng Puan yang merasa tertekan dengan keadaan itu, ia berusaha menenangkan diri kemudian kembali kerumahnya.
Dirumah keluarga sudah mulai membicarakan hari pernikahan Daeng Puan Bersama putri Daeng Rafiah, sementara Ayuni yang berpura-pura tegar menerima kenyataan itu hanya mampu berdiam diri di rumahnya.
Kesepakatan telah ada, perencanaan pernikahan Daeng Puan pun telah terencana, dan kebutuhan pada hari pernikahan telah dipersiapkan seperti, perahu, gendang dan lain sebagainya. Sementara Ayuni tak berhentinya menangis begitu pula dengan Daeng Puan yang masih memikirkan kekasihnya itu.
Hari yang di tunggu telah tiba rombongan keluarga Daeng Puan sudah berkumpul di rumah Daeng Manjakari, 3 Perahu sudah siap dipelabuhan dan orang yang ingin ikut mengiringpun telah siap. Mereka semua berkumpul di depan rumah Daeng Manjakari. Pada saat itu cuaca terlihat begitu cerah sehingga keberangkatan dari Pulau Saur menuju Sadulang dipercepat karena ditakutkan cuaca berubah.
Dengan hati tidak tenang Daeng Puan keluar rumah dibayangannya masih saja ada Ayuni. Seluruh orang yang hendak ikut mengiring itupun berangkat bersamaan ke pelabuhan, sampai di pelabuhan rombonganpun naik ke perahu setelah beberapa menit kemudian robonganpun berlayar menuju Pulau Sadulang. Suara gendang di tengah laut yang begitu indah menandakan betapa meriahnya pernikahan Daeng Puan. Setelah beberapa jam perjalanan cuaca yang mulanya cerah dan baik-baik saja berubah mendung dan ombakpun menjadi besar sehingga mampu menggetarkan hati para penumpang, suara gendangpun dihentikan. Saat itu cuaca langsung berubah, tepat dipertengahan antara Pulau Saur dan Pulau Sadulang gulungan ombak kian membesar seluruh penumpang mulai merasakan takut, Daeng Manjakari pun kelihatan pucat melihat keadaan itu, dari arah belakang perahu air menyembur sampai ke dalam perahu seluruh penumpang pun basah, pada saat itu sebagian penumpang menangis, ada yang menyebut Allahuakbar bersahut sahutan. Setelah beberapa waktu, ajalpun tiba, ketiga perahu yang hendak mengiring Daeng Puan ke pulau sadulang itu teggelam di perbatasan antara Pulau Saur dan Pulau Sadulang, tidak ada satupun yang dapat diselamatkan. Hingga pada saat ini laut tersebut dinamakan laut sitangis dan setiap tahunnya sering mengambil korban. Di laut sitangis ini terdapat ombak yang begitu besar meskipun cuaca sangat baik dan masyarakat di daerah laut sitangis ini menamakan laut tersebut laut sitangis karena setiap kapal yang melewati laut tersebut pasti mengalami kecelakaan atau minimalnya semua penumpang kapal tersebut menangis akibat dari ombak besar yang terdapat di laut sitangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laut Sitangis
Historical FictionCerita ini menceritakan asal mula laut yg di beri nama laut Sitangis yang berada di daerah perairan Pulau Saur.