6.

101 4 1
                                    

"Akan tiba kita di titik perjalanan untuk berhenti mencari karena ingin ditemukan."

....

Selain mengusung konsep pejalan & kebudayaan segmented, Korintji Heritage-AMKO yang baru masih mengusung kedai yang ber-idealisme. Sejak dahulu Korintji Heritage cenderung pro lokal dan indie.

Tanpa bermaksud mengurangi kualitas produk, Korintji lebih dominan untuk menekankan lini usaha kedainya pada konspe. Kedai yang selalu diiring music-musik seperti Iwan Fals, Efek Rumah Kaca, Iksan Skuter, Sisir Tanah dan kawan-kawannya ini menolak terlibat pada perdebatan tentang detail isi di dalam lingkaran cangkir kopi, melainkan lebih kepada lingkaran di luar cangkir yaitu; Manusia, cinta, dan bahasa.

Prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Al dan Mas Janu, adalah bicara minum kopi di nusantara adalah bicara ide, kebersamaan, diskusi, tatap muka, dan lain sebagainya yang bisa dijadikan input, sedang output dari lingkaran kopi adalah lebih dari sekedar fatwa haram-halal biji-biji dan teknik seduh kopi, melainkang semangat, semangat produktif dan segala kebaikan-kebaikan bagi kehidupan-seperti yang kopi sudah lakukan kepada dunia; obrolang ringan tentang rencana pilihan RT atau gotong royonng desa sampai dengan revolusi Negara-negara di dunia, sebermulanya adalah ngopi.

Di meja Bar masih sibuk Mas Janu dan salah seorang pegawai yang Alya tak kenal. Sedang satu pegawai lainnya; Oza yang notabene adalah pegawai lama dari KORINTJI itu tengah berputar-putar di meja pelanggan, dari satu meja ke meja lainnya melayani pelanggan. Mas Janu Nampak sibuk berbincang-bincang, Mas Janu memang begitu, ia selalu suka berdiskusi tentang apa saja, gunung, teater, literasi atau gerakan-gerakan lainnya. Tak jauh berbeda dengan Al.

Tiba-tiba Mas Janu memaku pandangannya ke salah satu meja kedai.

"Har, ada pendaki cantik tuh, sendirian," Mas Janu mengayunkan dagunya kea rah meja dimana terdapat seorang perempuan muda sedang duduk berhadap-hadapan dengan daypack yang disandarkan di kursi depannya.

"Iyo mas. Pendaki cantik. Tadi aku yang bikin kopinya."

"Nggak kamu ajak kenalan?"

"Ilok nian, Mas. Kemalung akau, hehe." Mahar menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Bak gayung bersambut, perempuan yang tengah dibicarakan oleh Mas Janu dan Mahar itu mengangkat tangannya. Mas Janu dan Mahar sadar bahwa itu adalah sebuah panggilan agar salah satu dari mereka segera datang sebab ada yang harus mereka bantu untuk melakukannya.

Tidak ada lima detik, Mas Janu dan Mahar berembuk selesai berembuk singkat dengan tatapan dan angguk-anggukan di anatara keduanya. Mahar merasa minder, maka Mas Jany yang datang menghampiri pendaki cantik tersebut.

Mas Janu sampai di sisi tempat pendaki cantik itu duduk. Perempuan itu menunduk memandangi cangkir kopinya. Mas Janu tidak bisa memindai wjah perempuan itu sebab sebagian rambutnya dibiarkan terjatuh sehingga menutupi wajahnya. Hanya dari nuansa dingin yang ditunjukkan perempuan itu, "Komplain," adalah satu tebakan Mas Jany yang keluar dalam hatinya.

"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Tanya Mas Janu.

"Kopi ini kenapa manis sekali?" kata perempuan itu sambil menggeser cangkir kopi di mejanya.

Mas Janu kembali ke meja bar untuk mengambil sendok.

"Kamu kasih kopi apa ke dia?" bisik Mas anu pada Mahar.

Dengan wajah bingung, Mahar menunjuk toples Kerinci Arabika.

"Kenapa dia bilang kemanisan? Pakai gula?"

Mahar menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Sudah itu Mas Janu kembali ke meja perempuan itu.

"Mohon maaf, Mbak. Saya dan mas yang nyeduh di sana agak kebingungan perihal keluhan Mbaknya. Sebab kami menyeduh murni single origin, bean kerinci, roasting medium, V60, air panas suhu 87, dan grind..."

"Iya mas, saya tahu," perempuan itu kembali memotong penjelasan Mas Janu, "Saya minta maaf. Saya yang salah. Kopinya sudah benar."

"Maksudnya?" Mas Janu meletakkan cangkir itu kembali ke meja dengan keheranan.

Perempuan itu memberikan sebuah foto.

"Saya dari tadi menikmati kopi itu sambil memandangi foto itu, mungkin itu yang membuatnya manis,"

Mas Janu terbelalak. Ia terkejut. Di dalam foto, terdapat gambar dirinya, Al, Hadid, Ebon, Nanda, Roni, Pinta, dan Galang ketika mereka mendaki Gunung Kerinci beberapa tahun silam.

"Alya?"

Perempuan itu membuka wajahnya yang sedari tadi tertutup sebagian rambutnya. Ia adalah Alya. Alya Girija Awindiya, kekasih Al dan sahabat baik Mas Janu.

"Mas Janu..." sapa Alya lembut dengan mata menggenang, mengenang.

...


"Ya Allah, Alya... kenapa nggak ngabarin sih. Kan bisa di jemput." Kata Mas Janu.

"Sengaja, Mas. Biar surprise. Hehe."

"Berhasil, berhasil banget, surprise banget." Mas Jany masih kegemasan dan bahagia melihat kedatangan Alya. "Nggak nyangka Mas bisa duduk kayak gini lagi sama kamu, Alya."

"Sama, Mas."

Aku milikmu - Pongky Barata mengalun di latar kedai. Mas Janu dan Alya hening. Keduanya seperti sama mengerti; ada Al di antara sela-sela perbincangan mereka.

"Mmm.. Aku..." Mas Janu diliputi kebimbangan untuk berkata-kata, "Aku turut sedih terhada.."

"Udah, Mas." Alya memotong. Ia seakan mengerti kemana arah perbincangan Mas Janu. "Al yang kini entah berada di mana aku yakin dia sudah menemukan kebahagiaan hidupnya."

Mas Janu memundurkan tubuhnya ke sandaran kursi. Tubuhnya mendadak berat. Ia hanya mengangguk setuju pada apa kata Alya tentang sahabat baiknya; Al.

"Aku bikin kopi dulu, ya." Mas Janu mencoba lari sejenak. Ia pergi membuat kopi untuk mempersilahkan waktu melarutkan kekakuan yang baru saja tercipta.

"Iya mas, aku juga mau lihat-lihat kedai yang baru mengalami Revolusi ini, hehe."

"Hehe, Revolusi dimulai dari kedai kopi," kata Mas Janu lalu beranjak ke meja bar. Mahar menyambutnya dengan sejuta keheranan.

Ia yang notabene baru di Korintji memang tidak tahu apa-apa tentang Al dan Alya.

"Sapo tu Mas?" Tanya Mahar.

"Alya," kata Mas Janu di sela tangannya yang sedang meroasting kopi. "Alya Girija Awindiya," lanjut Mas Janu.

"Alya?" kata Mahar keheranan, "Alya yang di frame-frame kedai ini ya?"

Mahar memang tidak tahu tentang Al dan Alya, hanya, melalui tulisan dan patahan cerita orang-oreng, berkali ia mendengar nama Al; Petualang yang kini entah pergi ke mana.

Sementara Mas Janu dan Mahar sedang berbincang di bar, Alya masih tenggelam di tiap sudut dinding Korintji. Sebabi baik teks maupun gambar, masih tersisa banyal 'Al' di sana.

"Tahu kau, Alya. Individu itu unik, khas, satu. Maka jadilah dirimu sendiri. bahwa matahari bukanlah apa-apa jika jumlahnya ada seribu. -Al"

Alya berpindah ke frame selanjutnya.

"Kita merasa baik-baik saja ketika membuang 1 sampah, sebab 1 sampah tidak akan mengotori sekitar. Hanya, kita tidak sadar jumlah dari 'kita' ada 7 milyar. -Al" Alya tersenyum kecil melihat sindiran Al yang ia temukan di dinding Korintji.

Alya menghening. Desas-desus suara diskusi di kedai masuk mengisi keheningannya. Lagu yang di putar berganti ke Float - Sementara.

"Seburuk-buruknya seorang kekasih adalah yang buta sastra. -Al"

Mata Alya menngenang, setetes jatuh dipipinya.

....

"Sudah mas. Aku sudah berjalan. Santai aja." Alya mencoba menyamankan Mas Janu sekembali keduanya duduk bersama kembali di meja.

Mas Janu Tersenyum.

"Keluarkan laki-laki itu dari kepalamu, letakkan ia di hatimu."sambung Mas Janu.

"Iya, Mas. Al terlalu luar biasa untuk kumilik sendiri. Al adalah kekasih semesta." Lanjut Alya.

"Setuju. Al tidak kemana-mana, Al di mana-mana." Mas Janu mengusap bahu Alya. Ia memberikan sebuah energy.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 27, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SETAPAK SWARNADWIPAWhere stories live. Discover now