Sinar mentari telah hilang seutuhnya, gelap gulita yang aku sukai kini telah tiba. Jika semua orang suka dengan terang dan ramai, maka aku suka gelap dan sunyi. Tak heran jika orang-orang memanggilku si-aneh. Ditepi kota terdapat sebuah rumah kecil nan kumuh yang mungkin orang bilang itu rumah kosong atau bahkan sebuah kuburan tua, iya bagiku pun memang seperti itu. Aku tinggal sebatang kara dirumah ini, dindingnya dingin, lantainya kotor dan ruangannya gelap, hal-hal itu memang menunjukan bahwa tempat tinggalku ini adalah rumah, namun rumah yang sudah lama mati kehidupannya.
Rentetan kejadian yang sangat buruk menimpa kehidupanku, saat aku berusia delapan tahun ayahku meninggal. Dan saat itu, aku sangat terpuruk. Namun masih bisa bangkit karena masih ada ibu. Namun naas, semesta berkata lain, lagi-lagi ia merindukan ibuku juga sehingga ibu dijemput untuk selamanya oleh-Nya. Aku benar-benar kehilangan arah, tak ada satu orang pun yang menyinari hidupku saat itu.
Hingga saat ini, kurang lebih selama delapan tahun aku hidup dalam gelap. Aku mengasingkan diri didalam rumah ini. Tak pernah ada satu orangpun yang yang menanyakan kabarku atau hanya sekedar mamanggilku dari luar rumah. Mungkin benar pirasatku, mereka telah menganggapku mati, padahal aku terpaksa harus terus hidup dalam gelap.
Sebenarnya aku ingin menikmati hidup seperti orang normal, namun aku takpernah bisa berbaur dengan mereka, iya karena itu, aku aneh. Aku hanya keluar rumah dan menelusuri dunia luar saat mentari benar-benar telah dibungkam malam. Bukan aku membenci mentari, hanya saja aku terlihat sangat jelas ketika ia bersinar, sehingga sepasang mata-mata itu selalu menatap asing padaku.
Aku berjalan menelusi jalan setapak ditepi danau, malam ini rembulan sedang merona cantik menyinari perjalananku. Ada seseorang yang harus aku temui, sejujurnya ada cahaya lain yang bersinar dalam malamku, sinarnya lembut dan selalu membuatku tenang.
Diperjalanan, sura-suara hewan malam mengiringi hentakan langkahku. Hah, lega rasanya dapat menghirup udara segar malam hari lagi, sejak dua minggu yang lalu aku tak keluar rumah karena disepanjang jalan dekat rumahku, para manusia itu mengadakan festiva yang sangat meriah selama berhari-hari. Dan akhirnya malam ini, aku akan selalu mengunjungi seseorang yang selalu bersedia menantiku. Suasana seperti ini yang aku sukai, sepi dan tidak terlalu terang.
Saat sampai, aku duduk disebuah bangku panjang, tangaku terus ku satukan dan sesekali aku kepalkan seperti orang gugup menanti kedatangan seseorang. beberapa menit setelah itu aku mendengar suara ketukan tongkat dan derap langakah kaki yang mendekat. Aku tahu, siapa pemilik suara itu.
"Ara, kamu sudah disana?"
"Aska, aku kangen."
"Aku pun."
Pria itu berjalan sambil meraba-raba lalu duduk disebelahku, dia memeluk tubuhku sangat erat.
"Kamu baik-baik saja 'kan?"
"Harusnya aku yang tanya itu sama kamu, Ara."
"Aku bersembunyi Aska, pasti aku akan selalu baik-baik saja."
"Aku khawatir saat diperjalanan menuju kesini, ada orang yang menganggumu."
"Tidak akan, orang yang melihatku pasti akan ketakutan lebih dulu."
"Syukur kalo gitu.""Syukur katanya."
"Kan biar gak ada orang lain yang jatuh cinta sama kamu, hehe."
Namaku Aurora, namun Aska memanggilku dengan sebutan Ara. Aska atau orang tuanya memberinya nama Alaska adalah satu-satunya teman yang aku miliki dipermukaan bundar ini. Katanya, kita memiliki nama yang sangat serasi karena dilangit Alaska selalu ada Aurora yang menari-nari dengan cantiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
December
Fantasy[Kumpulan Cerita Pendek] Aku yang kehilangan penopang kaki, aku yang kehilangan sandara hati, aku yang kehilangan arah mata angin dalam perjalanan hidup.