Pintu utama terbuka tanpa terdengar suara ketukan sebelumnya, sudah bisa dipastikan siapa sosok yang datang dengan tidak sopannya mengusik kedamaiannya di sore menjelang malam. Berandal cilik itu kembali datang dengan banyaknya luka sayat di sekujur tubuh, lebam di setiap sisi wajah, meringis sembari melangkah pincang ke arah dirinya terduduk di sofa jingga yang elegan.Tidak jarang pemandangan seperti ini ia dapati, bahkan terlampau sering hingga bintik jelaganya jengah menatap. Aroma darah segar merasuki indra penciumannya, amis yang menyengat sebab pria tersebut duduk lemas di sampingnya membuatnya mual.
"Kenapa engga nyambut aku?" suara lemah nyaris berbisik. Matanya melirik sekilas maksud ingin diperhatikan.
Membuat jarak tanpa memandang balik tatapan melemas yang sejak tadi sudah tertuju padanya. "Bau darah kamu buat aku mual." Secara inisiatif menjulurkan tangan kanan untuk menutup baju seragam yang tidak dikancing bocah di sebelahnya.
"Ck. Ya udah. Gak mau nanya aku kenapa?"
Gelak tawa meledek, alis menukik sebelah, serta bibir menyungging ialah reaksi setelahnya. Sikap dinginnya membuat siapa pun lawan bicaranya terkadang menyangka dirinya pribadi yang sinis. "Untuk apa? Kan biasa, penyebabnya ya selalu sama."
"Hari ini aku gak tawuran. Aku cuma berantem. Apanya yang sama?"
"Apa bedanya? Sama-sama sombongin kekuatan kan?"
Pria dengan pakaian lusuh mendengus sebal, mengganti posisi menjadi lebih tegak. Selintas mengacak surai yang sejak awal sudah tak tertata rapi. "Emang kamu gak khawatir?"
"Hah? Ngapain? Gunanya apa? Kalo aku khawatir terus, kamu bakal berhenti, gitu? Tetep aja kan? Kamu kan kuat, bisa ngatasin apa-apa pake otot. Ngapain ngadu minta perhatian." Nada sarkasme tersirat. Jemarinya sibuk memencet-mencet tombol remote TV. Sesungguhnya, sejak pria yang usianya 6 tahun berada di bawahnya menginjakkan kaki di kediamannya--- beberapa menit lalu telah mencuri seluruh atensinya. Pikirannya berkelana tak kunjung dapat titik temu.
Salah satu kakinya menghentak, menyebabkan tumitnya terantuk sofa. "Mereka ngatain kamu terus! Ya aku gak terima."
"Cuma karena mereka ngatain aku, kamu ribut? Mau aku puji apa sih kamu? Aku puji-puji karena udah rela berantem sampe darah-darahan demi aku?" sindiran keras.
"Mereka terus-terusan ngatain kamu banci setelah tau profesi kamu! Aku gak haus pujian kamu. Aku juga gak haus terima kasih kamu. Tapi seengganya respect dikit--- engga, kamu malah terus mojokin aku yang salah."
"Cuma karena ucapan loh, Jeon. Aku biasa aja tuh, aku gak tersinggung. Terus buat apa kamu kesulut emosi? Guna gak sebenernya? Bukannya mereka seneng kalo kamu kesulut? Untuk apa dibawa hati? Kan mereka gak tau aku gimana. Mereka cuma iseng. Aku kasih tau---"
Jeda sejenak untuk menatap datar bintik jelaga milik pemikat hatinya "---semua anak nakal cuma haus perhatian dan pengakuan. Sama kayak kamu."
"Kamu gak paham sih cara pikir remaja. Kamu gak tau rasanya perjuangin harga diri mati-matian. Aku gak suka dipandang rendah. Aku gak sudi diinjek-injek." Kala ditatap dalam, justru membuang muka; alasannya karena malu--- tak pernah dirinya sanggup dipandang sedalam ini oleh seorang pria penyandang marga Kim. Tatapan tersebut hanya membuatnya tunduk.
"Aku tau. 6 tahun sebelumnya aku remaja. Dan aku tau rasanya remaja pengen diakui. Tapi bukan adu kekuatan jalan keluarnya. Kamu beranjak dewasa--- banyak hal yang gak berguna tanpa sadar kamu lakukan. Sebenernya kamu cuma buang waktu dan energi. Makanya aku males ladenin."
Mendengar napas yang memburu, bisa ia tebak bahwa lagi-lagi kekasihnya tersulut emosi. Maka ia beranjak dari sana untuk mengambil kotak P3K, Taehyung memberikannya. "Pake sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Mature (Taekook)
Short Story[Oneshoot] Ia hanya ingin kekasihnya menjadi lebih dewasa: berpikir secara matang sebelum bertindak, mengontrol emosi dengan baik, tidak mudah tersulut hanya dengan omong kosong. Yang terpenting: ia ingin kekasihnya berhenti tawuran atas dasar nafsu...