Lanskap langit malam bergerak mundur dari balik jendela pesawat. Suara mesin jet berdengung halus berpadu bunyi gesekan udara dengan si burung besi. Malam yang tenang di kabin kelas bisnis, suasana hening menyelimuti para penumpang yang tengah tertidur. Namun mata seorang gadis masih terbangun, termenung menatap dari balik jendela pesawat yang membawanya dari Rotterdam.
Sejam lalu ia tersadar untuk yang kesekian kali dari usahanya untuk terlelap tetapi rasa khawatir di hatinya terlalu kuat untuk dibendung. Gadis muda itu terlalu takut terjadi sesuatu, kecelakaan atau insiden yang dapat merugikannya hidup atau mati.
Anna mengatur kursinya lalu membetulkan posisi duduknya menjadi lebih tegap. Tanpa berpaling dari langit, ia meraih gelas sampanye yang tadi dipesannya lalu menempelkan lidahnya di atas minuman itu kemudian menyeruputnya sedikit.
Meminum cairan itu dapat sedikit menghangatkan badan. Selama berkuliah di Belanda yang beriklim lebih sejuk daripada negara asalnya, Anna harus beradaptasi melawan dingin yang kurang begitu ia suka. Sampanye cocok di lidahnya, minuman itu ibarat penawar hawa dingin.
Hampir empat tahun dirinya menetap di Belanda untuk berkuliah dan mengambil jurusan administrasi bisnis. Kini di usia yang menginjak dua puluh dua tahun ia bergelar bachelor of science. Selama disana ia tidak pernah mau pulang ke Indonesia agar terkesan sebagai pelajar yang fokus dan serius, menikmati liburan musim panas dengan bekerja sambilan dan liburan musim dinginnya untuk menuntaskan urusan akademiknya.
Sebuah awan kecil melewati pandangan Anna kemudian pesawat pun menembus kumpulan awan. Pemandangan dari balik jendela seketika berubah, tidak ada yang bisa dilihat kecuali warna abu-abu gelap yang kurang menarik. Anna menghela napasnya lalu memejamkan matanya. Berharap tidak terjadi sesuatu.
Ini buat kebaikanmu.
Kalimat itu terlintas dibenaknnya. Ucapan Mamahnya sebelum dirinya dipaksa untuk pergi berkuliah. Perdebatan hebat antara orang tua dan anak, dua lawan satu, ia pun menyerah dan mengalah untuk yang kesekian kalinya.
Pesawat bersiap untuk landing. Segala macam pemberitahuan diumumkan oleh kru kabin demikian Anna yang segera merapihkan barang-barangnya. Ponsel, dompet, tas tangan serta tidak lupa memasang sabuk pengaman. Akhirnya pesawat pun mendarat dengan selamat.
Udara malam ini dingin dan berangin di bandar udara yang sepi pengunjung. Anna berjalan keluar dari pesawat, langkahnya tegap dan cepat walau wajahnya menunjukan keletihan setelah perjalanan jauh.
Anna berambut panjang sepinggang, memakai blus putih dan jins hitam serta dibalut mantel cokelat di atas lutut. Sebuah tas tangan bermerk terkenal tergantung di lengan kirinya juga dihias sebuah arloji melingkar pas di pergelangan tangannya. Sepintas semua yang dipakainya adalah barang mewah dan berkualitas, mulai dari kepala dan hingga kakinya.
"Anna," panggil seseorang di depannya.
Anna mengerutkan dahi, berusaha mengenali wanita yang memanggilnya. Sosok itu berpenampilan kasual, kemeja biru dan celana bahan senada. Rambutnya sebahu berhighlight pirang serta sebuah tahi lalat terhias di pipi kirinya. Namun sayangnya, Anna masih belum dapat mengenalinya.
Wanita itu pun menghampiri Anna dengan wajah sumringah lalu memeluknya hangat. Anna terkesiap sesaat, tentu saja ia kaget dipeluk orang asing.
"Kabarmu gimana? Mbak, sempet enggak kenal kamu tahu,"
Mbak, panggilan itu mengingatkannya pada satu orang. Sarah.
"Mbak Sarah?" ucap Anna masih dengan keraguannya.
"Oh ya ampun, kamu belum kenal aku ya," Sarah malu lalu menutupi mulutnya dengan tangan, ia sadar terlalu heboh bertemu Anna yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. "Iya. Ini aku, Sarah, enggak kenal ya?" sambungnya.
YOU ARE READING
Equal Love
RomanceSeseorang dari dunia lain memijakan kaki di dunia baru dengan kerinduan akan rumahnya sewaktu dulu. Satu lagi sang pemimpi yang datang dan kembali di tempat yang menyimpan memori indah, secuil perasaan tentang kota, sekolah dan puisi-puisinya. Takdi...