Anak-Anak Malam

22 2 4
                                    


Sepasang mata mengatup, mencoba untuk terpejam tidur. Suara-suara menyakitkan di balik pintu itu masih belum berhenti. Teriakan, sentakan, dan suara barang yang hancur meramaikan malam yang dingin.

Re memejamkan mata dengan erat, berharap cepat terlelap. Badan kecilnya menggigil, dada rapuhnya berdenyut-denyut. Tubuh Re terasa sakit, bercak-bercak ungu terlihat bersembunyi di balik pakaiannya. Re terus bergelung dalam selimut kecilnya, terus gelisah. Angin malam begitu gaduh, menutupi isakan tangis bocah kecil. Setiap malam, Re selalu berharap bisa pergi ke tempat yang jauh, memiliki teman yang bisa menghiburnya.

Suara ketukan terdengar di jendela, Re mengabaikannya. Pasti ranting-ranting pohon mengetuk jendelanya lagi, selalu seperti itu. Tapi suara itu makin keras, seolah-olah seseorang lah yang mengetuknya, mencoba masuk ke dalam dunia gelapnya. Hawa dingin merambat melalui punggungnya, memeluk tulang-tulang yang dibalut dengan kulit tipis. Re menulikan pendengarannya. Bergeming.

"Hei, kamu tidur?," Jendela kamarnya bersuara.

Re tersentak, suara itu. Bukan jelas bukan dari jendela--Re tau jendela tak bisa berbicara—. Re memeluk selimutnya dengan mengigil, Re mencoba berbicara melalui tenggorokannya yang serak. "Si-siapa?" satu-satunya kata yang berhasil terucap. Diam. Sejenak sunyi merambat dalam kamarnya. "Saa adalah Anak-Anak Malam" akhirnya suara itu memberi jawaban, "Saa ingin berteman dengan yang bersedih di dalam sana,". Suara ramah dan kekanak-kanakan itu bermain dengan telinga Re, membuat Re berhenti untuk takut—itu hanya anak lain, pikirnya—. Tapi Re ingat, kamarnya ada di lantai 2. Rasa penasarannya muncul. "Tapi kamar Re tinggi," suaranya terdengar bingung.

"Kenapa kamu tidak membuka jendela ini?" Re membayangkan anak itu—Saa—sedang tersenyum," dan melihat seperti apa, Saa?". Ragu dan bingung sejenak, Re memberanikan dirinya untuk membuka selimutnya. Bangkit dari tempat tidurnya. Re menunduk, kaki kecilnya melangkah perlahan menuju jendela. Bayangan terbentuk dengan bantuan sorot lampu di depan rumah, anak kecil berjongkok di tepian luar dari jendela kamarnya. Re tau ada yang aneh, dibalik punggung bayangan itu terdapat suatu bentuk yang memanjang. Re tersesat dalam pikirannya, tersadar saat kakinya bersentuhan dengan dinding kamar. Dengan pelan, Re mendonggak.

Anak kecil dengan penampilan halus dan ramah menyambutnya, ada sayap besar, hitam kelam di balik punggungnya. Re tertegun, Saa sangat mirip dengan cupid seperti di buku ceritanya.

"Hei, ayo pergi dengan, Saa!" Sayap Saa mengepak dengan ceria.

Re ragu. "Ta-tapi, nanti kalau ketahuan Mama dan Papa," Re mencicit. Saa terdiam menatap Re, pupil kelabunya menciut. Re merasa Saa menatapnya dengan dingin, Re melirik mulut Sa yang menekuk dengan buruk. Saat Re mulai merasa tidak nyaman, Saa menanggapi. "Jangan khawatir," Saa menepuk bahu Re, " Saa akan membawa Re pergi jauh, tempat yang Mama dan Papa Re tidak bisa menemukan Re,". Saa terlihat sangat percaya diri, senyumnya merekah. Saa mencoba duduk di jendela kamarnya, kakinya terayun-ayun dengan ceria.

"Bukannya Re ingin pergi dari sini?" Tatapan Saa berubah, merayunya dengan senyum menyeramkan. Re tersentak, dia mundur beberapa langkah. "Saa tidak suka orang jahat yang melukai anak-anak," Suaranya dingin dan berat, "Papa dan Mama Re orang Jahat,". Re gemetar. "Re takut Papa dan Mama Re, ' kan?" Seolah membaca pikirannya, "Saa akan membantu Re,". Tangan terulur ke arahnya, sinar bulan menyoroti kulit yang pucat dan terlihat dingin itu.

"Ayo pergi, Re," suaranya mendayu lembut, " Pergi selamanya dari sini,".

Suara Saa seolah menghipnotis Re, tangannya bergerak, menyambut ajakan dengan sukarela. Saa tersenyum misterius, sayapnya terurai ke depan, hendak meraih Re. Re tiba-tiba menyadari, tidak ada jalan untuk kembali. Angin berdesir ganduh di sekitar mereka, bulu-bulu hitam yang beterbangan mulai menutupi pandangannya. Re tau, dia akan pergi ke dunia Anak-Anak Malam. Tinggal selamanya dalam dunia yang asing.

Yang bisa Re lihat terakhir adalah pintu kamarnya yang terbuka pelan, sosok Papa dan Mamanya berdiri di ambang pintu. Berlari dan mengucap namanya berulang-ulang. Mencoba merengkuh Re dalam pelukan yang hampa.

Terlambat, sudah terlambat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang